bab 22.

20 5 0
                                    

"Sebentar, apa maksud dari kata lukisan yang kamu bicarakan tadi?" tanya Raya, ketika menangkap pembahasan Helsa yang tak sengaja menyinggung tentang lukisan anak kecil yang mirip dengan Ailee sewaktu kecil.

Helsa tampak ragu-ragu untuk mengatakannya, sampai pada akhirnya, Arvin tiba-tiba bersuara, "Lukisan anak kecil di—" Dengan cepat Helsa membekap mulut Arvin, sehingga membuat lelaki itu kesulitan untuk melanjutkan perkataannya.

Arvin sedikit memberontak, sampai ketika Helsa melepaskannya setelah berkata, "Bukan apa-apa, cuma lukisan itu. Wanita di sana sangat mirip denganmu."

Wajah Arvin sedikit memerah, karena Helsa bukan hanya membekapnya, melainkan juga menghentikan pernapasannya. Seperti ikan yang berada di daratan, ia megap-megap karena saking kuatnya tangan Helsa menutup mulut dan hidungnya.

"Lo gak papa?" tanya Helsa menyadari Arvin yang tampak kesal.

Arvin menyahut dengan wajah kecut, "Oh gak papa, gue masih hidup, kok."

Raya berdiri meninggalkan mereka untuk pergi ke dapur, "Kalian mungkin sudah lapar. Berapa hari kalian sudah ada di sini?"

"Oh, gak begitu lapar, kok. Kemarin udah makan sampai kenyang dimasakin Anna," ucap Arvin tenang.

"Masakan Anna? Kalian makan apa?" tanya wanita paruh baya itu lagi.

"Ada ayam panggang, rawon, soto kambing, gule, dan—" ucapan Arvin menggantung, ketika ia mengingat status Anna yang sebenarnya. Ia pun bergegas ke dapur untuk memastikan,  bahwa pemikirannya bisa saja salah.

Tepat di depan ruang makan, Arvin sudah mencium bau busuk. Dan benar saja,  apa yang baru saja sudah ia takutkan, ternyata terjadi.

Dilihatnya, sebuah meja makan penuh dengan belatung, celurut, serta beberapa tikus tanah lumayan berukuran besar yang sudah terbelah menjadi dua bagian di sana. Tubuh tikus tersebut, mirip seperti ayam panggang yang ditusuk dengan kayu di bagian tengahnya. Lalu, selanjutnya ada kepala monyet ditumpuk-tumpuk menjadi beberapa bagian.

Setelah itu, Arvin melihat tempat di mana ia makan waktu sebelumnya. Kepala monyet yang sudah terpampang di atas piring makan miliknya tersebut sudah tinggal beberapa bagian saja, sedangkan isi otaknya tandas. Bola mata dari kepala monyet itu juga sudah tidak ada di sana. Melihatnya pun, membuat Arvin merasakan mual yang begitu dahsyat.

Uuuwwwooeekkk ....

Gegas ia memuntahkannya, dan keluarlah beberapa belatung yang masih menggeliat dari mulutnya.

River, Helsa dan Eve yang menyaksikannya pun menghampiri Arvin. Lalu mereka hendak melihat ke tempat yang membuat Arvin seperti itu. Akan tetapi, dengan cepat Arvin juga menghentikan mereka. Kecuali, River yang masih penasaran, memberanikan diri untuk melihat ke ruang makan.

Helsa dan Eve berpaling, ketika melihat isi perut Arvin yang penuh dengan belatung itu. Ia pun juga merasa mual, karena perasaannya ikut tidak enak, gegas memuntahkannya.

Bukan hanya potongan daging-daging yang belum terkoyak dengan baik, tetapi juga, ada sehelai rambut yang keluar dari mulut mereka berdua.

Ketika Helsa dan Eve berusaha mengelurakannya, sehelai rambut itu berubah menjadi gumpalan rambut yang lebih banyak lagi.

Mereka berdua terus menarik rambut tersebut keluar dari sana. Akan tetapi, bak tanpa ada ujungnya, rambut itu malah makin memanjang.

Darah hitam bercampur dengan nanah yang baunya begitu menyengat keluar dari mulu merea berdua.

Mereka terus berusaha keras untuk mencapai seluruh gumpalan rambut itu untuk keluar.

Sampai pada akhirnya ... rambut tersebut akhirnya sampai di ujungnya.

Akan tetapi, tak berhenti di situ saja.

Eve dan Helsa merasakan pening di kepalanya begitu hebat. Tubuh keduanya mulai lemas, dan ambruk begitu saja di atas lantai. Walaupun kedaan mereka masih setengah sadar. Mereka terus menahan diri agar tidak jatuh pingsan.

Sementara Arvin di depan ruang makan, ia mengusap sisa darah yang keluar dari mulutnya dengan kasar. Lalu gegas berlari ke sebuah kran air yang ternyata, keluar air got dari sana. Untung saja Raya tiba-tiba muncul dari belakangnya, dengan membawakan sebuah cerek yang terbuat dari loyang berisi air di dalamnya, tetapi Arvin masih ragu-ragu untuk menerima pemberian wanita paruh baya itu.

"Ini air sungguhan. Kalau tidak ingin menerimanya, biarkan saya berikam ke yang lain saja." mendengar itu dari mulut wanita paruh baya di hadapannya pun, gegas Arvin menerimanya. Lalu menjadikan air tersebut untuk berkumur.

"Bibi mengambilnya di mana?" tanyanya, setelah merasa lega membersihkan mulutnya yang bau busuk itu, sampai air di dalam cerek pun tandas, tak tersisa barang setetes saja.

"Kenapa tiba-tiba manggil Bibi?" tanya Raya–balik–heran. Sambil berjalan menuju sebuah sumur yang berada di belakang rumah.

"Ya, mungkin air itu bisa menyihir omongan saya," celoteh Arvin, sambil membantu wanita paruh baya itu untuk mengangkat ember yang berisi air bersih dari dalam sumur di hadapannya.

"Kau anak baik anak muda, tapi bagaimana kalian bisa masuk ke desa ini?" tanyanya sambil menuangkan air dari ember itu ke sebuah cerek yang ia pegang sedari tadi.

"Gak tahu, tadinya mau ngerjain tugas volunteer. Tapi, malah nyasarnya ke sini," singkatnya, sambil memerhatikan air dari sumur dengan kedalaman yang lumayan tidak terlalu dalam itu, ternyata airnya begitu jernih dan bersih.

Raya terdiam ketika mendengar jawaban dari anak muda di hadapannya. Ia pun memberikan cerek yang sudah terisi penuh dengan air itu ke Arvin. Lalu berkata, "Berikan ini kepada teman-temanmu. Aku akan pergi sebentar, jangan pernah membuka pintu rumah ini, sampai aku kembali."

"Bibi mau ke mana?" tanyanya penasaran. Akan tetapi, Raya tetap membisu, berjalan menjauh pergi dari Arvin yang masih kebingungan itu.

Arvin berusaha menangkis pikiran aneh-aneh di kepalanya, dengan bergegas menemui teman-temannya yang sudah lemas tak berdaya di ruangan utama.

Helsa yang melihat Arvin membawa cerek pun gegas menghampirinya dan merampasnya begitu berada tepat di hadapannya. Pusing di kepalanya berkurang, meski awalnya benar-benar sulit untuk ditahan.

"Agresif banget, sih!" pekik Arvin, merasakan jari-jarinya berdenyut-denyut karena ulah Helsa yang sangat kasar mengambil cerek dari genggamannya.

Helsa acuh tak acuh, ia sibuk meneguk air di dalam sana, dan menggunakannya untuk berkumur.

"Itu bukan air, Hel." Ucapan Arvin membuat Helsa menghentikan aktivitasnya dan gegas memuntahkannya begitu saja.

"Tapi boong!" celoteh Arvin memasang wajah konyol dengan menjulurkan lidahnya.

Helsa geram, ia pun tanpa berpikir panjang hendak melemparkan cerek yang masih berisi air di dalamnya itu dengan begitu saja. Akan tetapi, untungnya hal tersebut berhasil digagalkan oleh Eve yang langsung merampas cerek dari tangan gadis di hadapannya.

"Ck, mubazir!" bentaknya, lalu gegas berkumur menggunakan sisa air yang sudah tidak seberapa itu.

Desa Terkutuk|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang