bab 3

43 8 0
                                    

Gadis itu sudah pergi meninggalkan mereka berlima penuh dengan tanda tanya. Bahkan ketika Arvin kembali memanggilnya, sang gadis hanya acuh tak acuh.

Mereka berlima hanya dapat menghela napas panjang, dengan mata berkelana menyaksikan kawanan burung gagak yang makin lama makin bertambah memerhatikan keberadaan mereka. Terduduk lesu di depan gubuk itu dengan wajah cemas tak terkendali.

Eve bersuara, "Terus, kita mau gimana ini?"

Arvin menyahut, "Come on guys, kalian gak bener-bener percaya sama omongan cewek cupu tadi itu, 'kan?"

Semuanya hanya diam saja, dengan wajah yang tidak dapat disembunyikan kekhawatirannya. Sementara hari mulai petang. Mereka bergumul dengan diri masing-masing.

"Kita harus segera pergi dari, sini," ajak River karena sudah mulai merasa tidak nyaman.

"Mau ke mana? Ini sudah tempat udah pas buat istirahat, Ver. Kita bermalam aja di sini. Apalagi, sudah hampir malam," usul Arvin.

"Tapi gimana kalo omongan gadis itu bener?" Helsa ragu-ragu dengan perkataan Arvin.

"Itu cuma cewek aneh, gak usah didengerin, lah. Lagian,  lo punya usalan lain?" tanya Arvin balik. Membuat Helsa terduduk diam.

River, Eve, dan Ailee tampak merenungi perkataan Arvin yang memang ada benarnya. Sementara Arvin mendekati pintu yang terbuat dari anyaman bambu itu. Ia mulai mendorong pintunya perlahan, karena memang tidak terkunci. Tiba-tiba, bau busuk mulai menyeruap sampai ke hidungnya. Arvin makin penasaran tetap ingin melihat isi di dalam sana dengan menutup hidung mancungnya. Sebab tidak ada penerangan pun di dalam sana, Arvin tak sengaja menginjak sesuatu. Ia pun menghidupkan cahaya dari ponselnya dan melihat apa yang sudah ia injak. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat bangkai-bangkai kucing hitam yang berserakan. Dengan dipenuhi genangan darah yang belum mengering di seluruh ruangan itu.

Arvin merasa mual, gegas keluar dari tempat itu. Tentu saja, mengundang tanda tanya dari kawan-kawannya. River hendak memastikan, tetapi Arvin segera menghentikannya.

"Kita gak bisa berada di dalam, sana!" seru Arvin sambil menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak muntah-muntah.

Mereka pun menurut, karena mulai mencium bau busuk yang keluar dari gubuk tersebut. Lalu, gegas mengangkat barang-barangnya. Akan tetapi, hal itu terhenti, ketika mereka merasakan adanya keberadaan seseorang yang mengawasinya. Suara pergerakan dibalik semak-semak belukar itu terlihat jelas. Makin lama terasa makin dekat. Dalam hitungan ketiga, satu persatu orang keluar dari sana, menuju ke tempat mereka berlima berada. Tampak sekeliling hutan itu, telah dipenuhi manusia yang tanpak seperti mayat hidup. Berjalan sempoyangan dengan berlumuran darah. Mengeluarkan suara menjijikkan dari mulutnya.

Helsa hanya berteriak, dan tentu hal itu mengundang segerombolan mayat hidup di sana bereaksi makin cepat menghampiri keberadaan mereka.

River dengan cepat mengambil sebuah kayu yang tergeletak di bawahnya, ketika melihat salah satu mayat hidup itu mendekat. Ia gegas memukulinya dengan keras hingga terjatuh. Lalu ia menyuruh teman-temannya untuk segera pergi dari tempat ini dengan dikawal River, menggunakan senjata seadanya untuk melumpuhkan gerombolan mayat hidup tersebut.

Begitu pula Arvin, juga melakukan hal yang sama. Ia mengambil balok kayu yang terlihat di depan matanya. Lalu mengayun-ngayunkannya ke arah mayat hidup yang mendekatinya.

Sementara mereka berlari tanpa tujuan, tiba-tiba dikagetkan dengan seseorang yang membawa obor tepat di hadapannya.

"Kamu ... tadi cewek yang kami temui itu, 'kan?" pekik Ailee ketika tangannya ditarik oleh gadis itu.

"Kalian pergi ke arah sana!" perintah gadis itu menunjuk ke sebuah rumah tua di ujung sana, yang tentunya dituruti oleh mereka berlima.

Gadis itu mendekat ke segerombolan mayat hidup itu, lalu menaburkan sesuatu di sana. Sehingga membuat mayat-mayat tersebut menjauh darinya. Hanya Eve yang menyaksikan gadis itu melakukannya, sementara yang lain sudah menjauh.

Eve sempat tertegun ketika melihat reaksi segerombolan mayat hidup dengan apa yang dilakukan gadis itu. Akan tetapi, tak lama setelah Arvin menarik tangannya, agar segera sampai ke rumah tua yang sudah tak jauh dari pandangan mereka.

Sesampai mereka berlima ke rumah tua yang sangat besar itu. Dengan cahaya yang remang-remang terlihat, interior kokoh berwarna putih dan mulai usang tinggi menjulang, beserta dedaunan yang menjalar memenuhi dinding-dindingnya. Mereka benar-benar tak percaya, bagaimana bisa ada rumah sebesar ini di tengah-tengah hutan belantara.

Napas mereka memburu, sambil memerhatikan gadis tadi yang mulai mendekat menghampiri mereka dengan tenang. Sedangkan suara-suara bising yang dibuat oleh segerombolan mayat hidup itu mulai tak terdengar.

Arvin tiba-tiba mendekati gadis itu, lalu berkata, "Hei, tadi itu apa-apaan, huh?"

"Mereka penduduk di kampung ini," sahut gadis itu tenang, sambil menaruh obor yang sedari tadi ia pegang ke tempatnya. Yaitu, sebuah bambu yang berdiri, di tengah-tengah halaman.

"Terus, kenapa kamu tidak seperti mereka?" tanya Arvin penasaran.

"Masuk saja dulu, akan saya ceritakan semuanya," ujar gadis itu, menuntun mereka masuk ke dalam rumah megah di depannya.

Mereka berlima menurut, meskipun sedikit ragu-ragu, tetapi tidak ada pilihan lain. Bagaimana pun mereka sudah tertolong karenanya.

Begitu masuk, mereka terperangah melihat sekeliling tembok di sana begitu kokoh. Tiang-tiangnya begitu besar. Ada lampu gantung kristal berukuran besar berada di tengah-tengah ruangan. Serta ada dua tangga dari kedua sisinya. Rumah tua, seperti peninggalan belanda.

"Kalian duduk aja di sini dulu, saya akan bawakan minuman." Gadis itu mempersilakan mereka berlima untuk duduk di sofa yang ada di hadapnnya.

Mereka pun duduk tanpa ragu-ragu, sambil mengagumi sekeliling ruangan. Begitu banyak barang-barang tua di sana. Dan ada beberapa lukisan besar yang mencolok, mengalihkan perhatian mereka. Iya, lukisan sebuah keluarga, dengan dua anak kecil, yang disangka mereka adalah si gadis itu.

Desa Terkutuk|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang