17. Benedict

841 71 5
                                    


Raffi mengedip berat, dirinya tak berniat membuka suara setelah hampir setengah jam lamanya berhasil sadarkan diri, bangkit dari alam bawah sadar.

Wajah cantik itu bagaikan magnet, dan Raffi besinya. Terlihat mata Karina bengkak, wajah cantiknya begitu sembab. Sisi wajahnya mendarat di atas kedua telapak tangan yang menyatu di atas bantal yang ia himpit diantara sisi ranjang.

"Huuft. Ck! Lapar." Raffi mendongak, tatapannya tertuju pada satu titik di atap.

"A-akh!" Ringis Raffi menekan sudut bibir.

"Ssst! Huuuh."

"Aaah!" Sedikit Raffi mendesah kesakitan. Seluruh tulangnya terasa sakit, belum lagi wajahnya yang terasa sakit di sana sini.

"Tuan? Mana yang sakit, tuan?"

"In-ini?" Tanya Karina begitu sigap nan perhatian. Diusapnya sudut bibir Raffi dengan jari gemetar, ada tetesan darah di sana.

"Lapar, saya lapar."

"Hauus. Ssst! Hauus. Eungh!" Erang Raffi meringis kesakitan. Bibirnya begitu kering, warnanya sangat pucat.

Karina meringis menunggu sabar pada Raffi yang kesulitan minum. Tak terasa airmatanya menetes. Karina sedih sekali melihat kondisi Raffi yang sangat mengkhawatirkan ini.

"Dah, udaah. Eungh! Florii,.. Ben,.. Nooof!"

"Karinaa-hh. Anak saya, manaa? Anak sayaahh." Raffi melirih, tangannya meraih lemah pada tangan Karina.

"Ada, tuan, di rumah. Tuan lapar, kan? Tuan mau makan? Tuan makan dulu, jangan dulu bicara banyak. Di bibir tuan ada robekan." Karina membungkuk, begitu lembut berucap di dekat wajah Raffi.

Tak sadar Karina balas menggenggam pada tangan Raffi. Ditatapnya Raffi dengan penuh kelembutan, dirinya ingin Raffi paham. Raffi menatap lama pada mata indah itu. Tangannya tak ingin lepas dari genggaman, begitu pun pandangan mereka yang tak ingin berhenti begitu saja.

Tleng tleng tleng

Suara piring beradu dengan sendok menjadi pengiring serta saksi manis antara Karina dengan Raffi.

Karina begitu penuh kesabaran menyuapi Raffi, sangat hati-hati, sangat cerdas menyiasati agar sudut bibir Raffi tak kesakitan. Raffi dibuat tak bisa mengedip menyaksikan wanita cantik yang begitu sabar nan tulis melayaninya.

"Kalo ada yang sakit bilang langsung ke saya," ucap Karina menoel perlahan sisi bibir Raffi dengan tisu.

"Kalo ada apa-apa, langsung ke saya."

"Y-yaa-hh." Raffi terengah kesulitan meraup napas.

"Jangan bicara. Sssut! Ssut! Tuan ngedip aja, yaa? Jangan paksain buat bicara, bibir tuan bisa makin lebar lukanya." Karina menggeleng lemah. Tak sadar lagi dirinya menggenggam hangat pada tangan itu.

Keduanya saling berpandangan lama. Raffi begitu fokus menatap menelisik wajah cantik itu, tanpa menyembunyikan. Tak tunggu lama Raffi tersenyum tipis, namun begitu manis. Karina yang melihat itu sontak ikut mengangkat kedua sudut bibir.

[MY HANDSOME BOSS, MY LOVER]

Baba ada acara seminggu di Brunei.
Baba juga sengaja kasih Karina libur seminggu.

Kalian jangan lupa makan, tidur teratur. Baba titip Naufla sama kamu, jangan galakin dia.

Florenzia membengis tak habis pikir. Pesan di ponselnya kali ini benar-benar membuat dirinya marah. Kenapa ayahnya harus sampai membuat Karina libur bekerja? Dan dirinya tidak bisa mengganggu gugat, yang ada dirinya bisa diberi tamparan atau pukulan nanti.

My Handsome Boss, My Lover [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang