Suara muntahan itu memenuhi seluruh ruang WC di sini. Raffi dengan mudah mendampingi Karina, menyuruh para wanita lainnya keluar hingga hanya tersisa mereka berdua saja.
Sesekali Karina berontak, mendorong dua tangan Raffi yang mencoba membenarkan rambutnya. Sayang sekali itu adalah hal yang sangat ia butuhkan sekarang. Tak mungkin rambutnya ia biarkan terkena muntahan begitu saja.
"Hoek! Hoek! Emmhh! Eungh."
"Lepassin-hh." Karina mengerang kala rasa mual itu membuatnya tak tahan.
"Ini, pake tisu." Raffi menyusut lembut pada bibir Karina. Sedikit ia paksa wajah Karina terarah padanya, sengaja ia cengkeram rambut tebal hitam legam ini.
Karina sedikit limbung. Dirinya pasrah kepala belakangnya si cengkeram. Mata lemah Karina kini hanya tertuju pada satu tujuan, yakni bibir Raffi.
"Hoek! Hoek! Mmmhh! Lepassin. Dasar cowok playboy. Eergh. Ck!"
"Lepassin!" Tukas Karina menarik paksa lengannya dari cekalan Raffi.
"Harusnyaahh. Hhh. Saya bener-bener ga usah percaya sama cowok kayak tuan."
"Untung,.. huuuf. Untung aja saya dari awal udah paham cowok modelan tuan itu kayak gimana." Karina melangkah menjauhi Raffi. Tubuhnya berbalik lemah, keningnya menekan pada tembok kamar mandi.
Karina seperti orang mabuk, itu membuat Raffi bingung namun juga gemas.
"Heh! Kamu mabuk? Karina? Hey!" Tegur Raffi mengguncang dua bahu Karina dari belakang.
"Eungh! Ck! Enggak! Yang ada saya tu jijik lihat tangan cewek itu raba-raba, dan tuan terus nyuruh lebi-hoek! Hoek!"
"Hoeek! Hoek!" Lagi-lagi dan lagi. Karina tak tahan melihat bibir Raffi.
"Bib-hoek! Bibirhh. Bibir tuaanhh. Saya jijik."
"Hoek!"
Raffi yang di bibirnya ada sisa air ludah sontak menghapusnya segera, menggosoknya sedemikian rupa hingga meringis kesakitan sendiri.
"Eergh! Minggir! Dasar mata keranjang!" Geram Karina menendang paha Raffi dengan lututnya, tak lupa mendorong dua bahu kokoh itu hingga mundur menjauh.
"Aakh! Kak-karina! Karina, tunggu!"
Karina berjalan marah meninggalkan Raffi. Kaki jenjangnya dengan mudah menendang tong sampah hingga sampahnya berhamburan bahkan hampir mengenai Raffi.
"Bunda, bunda marah? Bunda tunggu Nonof!" Jerit Naufla berlari histeris tak mau ditinggalkan.
Karina berdiri menelisik wajah cantik Naufla. Naufla begitu banyak berharap padanya.
"Ayo, ikut bunda, baba ada urusan." Karina dengan mudah menggendong Naufla, lalu berjalan tegas meninggalkan ruangan luas nan mewah milik Raffi ini.
Karina yang baru saja berhasil keluar ruangan hanya bisa membeku, matanya memicing marah menatap pada WC di kejauhan sana dimana Raffi berada.
"Yuk, makan siang." Naufla tersenyum mencubit pipi Karina dengan dua jarinya.
"Hmm? Oh, hehe. Ayo!"
"Anak pinter, yaa. Sabar nunggu bundanya. Hehe. Mwah!" Lanjut Karina mengusap ujung kepala Naufla, tak lupa memberi kecupan manis di pipi.
[MY HANDSOME BOSS, MY LOVER]
Florenzia memasang wajah marah. Matanya terus mengerling sinis, dirinya tak menikmati makan siangnya.
Naufla begitu tak ingin lepas dari dekapan Karina, bahkan saat Karina makan sekalipun. Karina begitu manis menyuapinya, memberi makanan Karina sendiri yang tadi Naufla tidak ingin pesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Boss, My Lover [ON GOING]
Ficción GeneralMenjadi seorang asisten pribadi dari anak berusia 16 tahun tidaklah mudah. Majikan kecil cantiknya itu manja, rewel, belum lagi dirinya yang sudah seperti babysitter untuk dua adik Florenzia. Nona mudanya itu bernama Florenzia Augusta Akbar, anak da...