Karina duduk menciut dengan handuk kecil yang menutupi dada. Punggungnya ia sandarkan pada sofa agar tidak terekspose. Sungguh Karina tak bisa bergerak, tak ada pelayan sama sekali yang tahu tragedi Naufla, sedangkan disini ada Raffi.
"Naufla bakalan baikan. Tapi tetep saya panggil dokter." Raffi melangkah menuju sofa dimana Karina berada, lalu duduk berdampingan, menelisik Naufla dari kejauhan.
"Ngapain, kamu?" Tanya Raffi menelisik naik turun pada Karina yang menciut.
"Cih! Kamu malu? Ah? Kamu malu dada kamu kelihatan? Terus ngapain sok-soan pake bikini?" Hardiknya menertawakan kekonyolan Karina.
Karina tak sedikitpun menggubris, tubuhnya semakin menciut waspada, terus memojok menjauh dari Raffi. Raffi malah sengaja duduk menghadap padanya.
"Haha! Naif, kamu! Saya ga bakalan kegoda, kok. Saya juga pilih-pilih. Kalo lihat cewek seksi dikit aja kegoda, gimana mau ke wilayah bebas, apalagi ke pantai, semuanya pake bikini. And that's fine."
"Ngapain saya ngegoda, bapak! Wasting time!" Sembur Karina menatap sinis.
"Saya ga bilang kamu ngegoda. Or maybe, itu emang niat kamu. Yup! Kamu ketahuan!" Timpal Raffi terkekeh puas atas ucapannya. Ditatapnya Karina dengan remeh. Wanita ini tidak membuat onar, namun entah kenapa selalu menarik perhatian Raffi.
"Permisis, tuan! Dokter sama perawatnya sedang berjalan menuju kamar. Sebentar lagi tiba."
Raffi mengangguk. Perlahan pandangan Raffi beralih, kembali teruju pada Karina. Karin kelihatan begitu ketakutan, tak bisa berbuat banyak. Sedangkan handuknya hanya sebesar buku tulis besar saja. Terlihat sisi punggung Karina yang sesekali terekspos akibat Karina yang berusaha terus memojok.
"Itu, tuan, mereka kesini."
"Wait! Sebentar." Raffi sontak berdiri cukup kelimpungan melihat Karina. Segera dirinya membuka baju kaos rumahannya.
"Pake ini!"
"Ah!" Ringis Karina mengedip terkesiap menerima lemparan baju yang sedikit mengenai wajah.
"Permisi, pak Raffi."
"Wait! Jangan masuk!" Titah Raffi melotot waspada. Tubuhnya berdiri menjulang bersama dua bantal yang ia halangkan. Sebisa mungkin Raffi menutup tubuh Karina.
"Pake! Pake sekarang!"
"A? I-iya!" Timpal Karina segera patuh. Sesaat dirinya ketakutan menatap ke arah pintu
"Udah, udah."
"So, come in!" Ujar Raffi tersenyum profesional walau terlihat terpaksa.
"Siang, tuan, nyonya! Maaf atas keterlambatannya!"
Kini Karina berlutut di sisi ranjang, memandangi wajah gadis kecil cantik ini. Beban mental Naufla begitu besar.
"Cepet sembuh ayangnya tante Karinaa. Yaa? Naufla itu kuat!" Ucapnya tersenyum mengusap lembut pipi gempal Naufla.
"Ck! Akh! Fuck it!" Umpat Raffi segera berbalik membelakangi.
Karina teralihkan pada Raffi. Sedikit dirinya berusaha maju tuk melihat ada apa dengan majikannya. Terlihat Raffi yang menekan bibirnya terus menerus. Sesaat pandangan Karina teralihkan pada Raffi yang tak memakai baju, tubuh bagian atasnya terekspos bebas, ada banyak tato abstrak di permukaan kulitnya itu.
"Itu bekas digigit Naufla? Naufla bilang, kok, sama saya." Karina berdiri di hadapan Raffi, menyerahkan lembaran tisu yang ia ambil dari atas laci.
"Sst! Thanks!" Ucapnya sedikit basa-basi menerima uluran tisu yang ia butuhkan.
"Sama-sama."
"Anak saya gigit bibir saya cuman karena mau belain mamah barunya!" Sindir Raffi mendelik ditengah acaranya menahan darah segar yang tak bosan mengucur.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Boss, My Lover [ON GOING]
Fiksi UmumMenjadi seorang asisten pribadi dari anak berusia 16 tahun tidaklah mudah. Majikan kecil cantiknya itu manja, rewel, belum lagi dirinya yang sudah seperti babysitter untuk dua adik Florenzia. Nona mudanya itu bernama Florenzia Augusta Akbar, anak da...