Sepasang suami istri berlarian kencang melewati koridor rumah sakit. Coat tebal Karina ada dalam genggaman Raffi di depan. Ya, Raffi berlari lebih kencang di depan, sementara Karina di belakang terus memerintah agar suaminya lebih cepat lagi.
Rambut merah panjang tebal Karina berhembus seiring ia berlari. Wajah cantik tegasnya tampak serius, benar-benar tak bisa diganggu. Karina berbelok, di sana suaminya sudah di dekat pintu ruang ICU Naufla
Raffi berhenti berlari tepat di depan pintu ICU anaknya, bertepatan dengan keluarnya para Nakes. Ia mencegah dokter di sana, ia bertanya dengan serius.
"Puji Tuhan, anak bapak sudah sadar dari masa koma. Pasien sempat memanggil beberapa orang. Pasien mencari bunda dan baba," terang dokter memberi kabar bahagia.
"Saya, saya babanya. Kar–karinaa? Ini, ini bundanya!"
"Iya, saya bundanya!" angguk Karina dengan napas tertahan sesaat. Raffi menarik pinggangnya sebagai bukti.
Karina mendongak menatap Raffi. Ia tersenyum haru pada suaminya yang sama-sama masih tak percaya. Mereka baru saja selesai berduaan di kantor, bahkan Karina tidur di kamar Raffi.
Wanita tinggi cantik itu tersenyum haru, kepalanya menggeleng tak percaya. Ia menunduk, keningnya menekan pada sisi bahu kokoh sang suami. Karina menangis. Dengan hangat Raffi mendekapnya, memberi usapan di kepala, memberi kecupan bertubi di pucuk kepalanya.
"Sekarang pasien sedang tidur. Kami akan memindahkan pasien ke rawat inap."
"Kita bisa ketemu kapan?" cegah Raffi tak sabar. Para Nakes mulai berpamitan.
"Bisa dua jam lagi. Biarkan pasien tenang. Terkecuali ada kondisi khusus."
Karina dan Raffi menunggu hampir dua jam. Untuk bisa bertemu Naufla. Keduanya tidak mau mengganggu tidur Naufla, hingga kini mereka sudah berada di kamar inap anak mereka.
Di dalam kamar rawat inap terdapat Naufla yang setia menutup mata dengan tubuh telentang tenang dalam balutan selimut. Di samping Kanan ranjang Naufla ada Raffi dan Karina yang duduk berdampingan di kursi. Raffi dan Karina saling menggenggam, satu tangannya lagi menggenggam tangan mungil Naufla bersamaan.
"Jam empat. Kamu belum makan." Raffi mengusap kepala istrinya yang baru saja menyandar.
"Mau makan apa? Beli ke kantin aja."
"No, Raffi. Ga usah," cegah Karina menahan Raffi yang akan berdiri. Ia tarik Raffi hingga duduk, ia usap wajah tampan itu seiring menyandar layu.
"Bab–baaa,.... eunghh! Pussiiinggh!" ucap Naufla mengigau. Naufla mulai tak tidur. Kedua alisnya bergerak saling mendekat dan naik turun, keningnya mengernyit seperi menahan sakit.
Sontak Raffi dan Karina berdiri. Raffi mengusap kening Naufla, membungkuk mendekatkan wajah, sedangkan dua tangan Karina tak henti-hentinya menggenggam tangan Naufla, memberi kecupan.
Bisikan demi bisikan lembut penuh harap menemani sadarnya Naufla. Kecupan demi kecupan lembut tanpa henti Raffi berikan pada kening anak tersayang. Mata itu membuka layu, tampak kesusahan. Ia pandangi wajah ayahnya yang tepat di depan wajah.
"Bab–baaa,.. ngghhh,.. bunda manaaa-hh?" tanya Naufla dengan suara serak dan kecil.
"Ada, sayang. Bunda ad–."
"Ini, sayaang. Nonoof,.. ini bunda, sayaang. Bunda di sinii," ucap Karina gemetar bahagia. Ia tersenyum, ia juga mencebik pedih. Mata indah Naufla yang selalu lembut nan ceria kini hanya tersisa layu.
"B-buundaaah!"
"B-b-bbundaaa,.."
"Ssuuut. Ini bunda, ini bunda di sini, sayaang." Karina menggeleng dengan bibir melengkung sedih. Dirinya tak kuat mendengar suara lemah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Boss, My Lover [ON GOING]
Fiksi UmumMenjadi seorang asisten pribadi dari anak berusia 16 tahun tidaklah mudah. Majikan kecil cantiknya itu manja, rewel, belum lagi dirinya yang sudah seperti babysitter untuk dua adik Florenzia. Nona mudanya itu bernama Florenzia Augusta Akbar, anak da...