15. hujan

332 162 246
                                    

Setelah beberapa saat hujan mereda, kini hujan datang lagi mengguyur kota bandung dengan tak direncana. Guntur saling bersahutan tanda alam sedang tak baik-baik saja, sama halnya dengan keadaan perasaan seorang pria yang kini menatap gundukan tanah berhiaskan batu nisan.

Ia membiarkan hujan membasahi tubuhnya, memeluknya bahkan menenangkannya. Orang-orang melihat bahwa dirinya adalah anak nakal karena didikan sang Ibu. Namun, semuanya salah. Sang ibu tidak gagal dalam mendidiknya, namun ia gagal karena terlalu jauh dari lingkup keluarga yang selalu mendekapnya.

Ditatapnya batu nisan itu dengan sendu, tangannya mengusap sembari  meletakan kalung salib yang sang Ibu berikan padanya saat ia masih balita. Lututnya yang sudah tidak bisa berpijak kini ia rapuh dan terduduk memeluk batu nisan tersebut.

"Mah, Bima kangen. Bima sama Papa butuh mama, Bima kangen sayur sup buatan Mama."

Kata itu terucap dari bibir pria itu, kata perkata yang diucapkan dari relung hati yang terdalam terdengar sangat tulus dan lembut selembut kain sutera. Sudah 10 tahun lamanya ia tumbuh tanpa seorang Ibu. Hampa, sunyi tanpa ada candaan yang menemani.

"ABIMANA!"

Tiba-tiba teriakan terdengar ia seketika menoleh pada seorang pria yang tengah berlindung disebuah payung hitam dengan hoodie putih dan menatap lembut padanya. Ia berlari menghampiri, dan langsung melindunginya dengan sebuah payung agar hujan tak jatuh lagi padanya.

"Kenapa lo kesini, SAMUDRA!" teriaknya.

Samudra mengikuti Abim saat ia keluar dari ruangan Alan dengan emosi yang tak terkendali. Samudra takut jika ada sesuatu yang terjadi padanya, meskipun tadi sempat Abim memukul Samudra. Namun Samudra masih punya rasa empati pada sahabatnya itu.

"Bim, pasti lo butuh tempat cerita kan? lo lupa? gue selalu ada buat Lo Bim."

"Lo gaakan paham Samudra!!!"

"Bim, gue gaakan paham kalo lo belum cerita."

Abim beralih menatap kuburan sang ibu dengan penuh arti. Ia kembali berjongkok, begitupun Samudra yang ikut berjongkok menemani Abim.

"Sam, gue kangen mama."

Samudra merengkul Abim dan menepuk pundaknya, ia mengangguk mengerti perasaan yang sedang Abim rasakan. Selama ini, orang memandangnya sebagai orang yang tak pernah mengenal rasa takut dan tak pernah terlihat rapuh. Namun hari ini, dan detik ini, Samudra melihat sisi lembut seorang Abimana.

Mata yang semula tegar, kini perlahan menitikkan air mata. Suara yang semula keras kini mulai m elemah.

"Keluarin aja semuanya Bim, gausah so kuat."

Samudra menepuk-nepuk pundak Abim kuat. Semua Abim tumpahkan bersama hujan, ia tak peduli di cap anak cengeng oleh Samudra. Yang terpenting sekarang adalah hatinya kosong karena sudah menumpahkan semuanya. Tangisan Abim mereda, ia meminum air pemberian dari Samudra.

"Sam, pulang?" celetuknya.

"Lo mau pulang? pamit dulu sana sama Mama," jawab Samudra.

Abim tersenyum dan mengangguk, tangannya kembali mengusap batu nisan itu dan sengaja menyimpan kalung salib itu bersama kuburan sang ibu. Hujan masih turun, Samudra mengajak makan ke restoran terdekat terlebih dahulu dan mengganti pakaian Abim yang basah. Mereka menaiki motor masing-masing dengan Abim memimpin didepan. Sekitar 10 menit dari tempat pemakaman umum, mereka menemukan restoran yang terlihat sederhana namun terbilang cukup bersih dan rapih.

Abim pun mengganti pakaian yang dibawakan oleh Samudra terlebih dahulu di kamar mandi restoran. Samudra tak basah kuyup, karena tadi ia memakai jas hujan yang dibekali oleh Elvano. Setelah Abim duduk, Samudra memesan beberapa makanan dan 2 es teh manis.

CARAMEL  (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang