16 - Asumsi atau Realita?

18 4 0
                                    

BAB ENAM BELAS

Dari bilik jendela, terpampang sebuah motor berwarna putih yang terparkir di depan pagar. Sarda yang sedang membaca Al-Qur'an itu mengintip. Dilihatnya sebuah lelaki berdiri menuruni motor dan melihat ke sekeliling, lalu mengucap.

"Assalamualaikum."

Sarda menjawabnya. "Waalaikumsalam." Sembari bangkit dan berjalan menuju laci untuk meletakkan Al-Qur'an, dibarengi dengan kemunculan Hana yang jika dilihat rautnya mesem-mesem ketika sang kekasih datang.

Mata Sarda menyipit, ia berkata pada anak perempuannya. "Dari awal pertemuan kalian, hati ayah berkata bahwa berhati-hatilah sama lelaki itu. Bukannya ayah nggak suka, tetapi insting orang tua itu kuat."

"Sekuat persahabatan Hana sama Rama atau masih kalah insting ayah?"

"Ini anak dibilanginnya malah membandingkan."

Hana menampilkan raut wajah cemberut. "Yaaaaa maaf. Hana keluar, ya?"

"Jangan pergi. Ini udah jam setengah sembilan."

"Nggak kok nggak kemana-mana," ucap gadis itu sembari keluar membuka pintu.

Merasa bersalah karena membuat Dahlan Angkasa menunggu lama. Maka dengan cepat, ia berlari-lari kecil membuka pagar dan dilihatnya seorang lelaki yang sedang berdiri disana sembari mesem-mesem memperhatikannya.

"Kok lama banget sih?"

"Iya maaf lama. Ayo masuk." ajaknya ketika pintu pagar sudah terbuka.

Ketika mereka sampai teras. "Tadi kayaknya ayah kamu ngintip deh dari jendela," ucapannya yang keluar begitu saja tentu membuat Hana terkejut.

"Masaaaa?" ucap gadis itu, padahal jauh di lubuk hatinya ia merasa takut.

Dahlan menatap Hana sangat mengintimidasi, itulah penyebab kenapa Hana selalu beralih ke arah lain ketika Dahlan sedang menatapnya. Karena bagi Hana, tatapan itu sangat menyeramkan.

"Padahal kamu sudah tau kan?"

"Ha? aku nggak tau sama sekali, Ka. Aku kan dari kamar."

Usai melepas sandal, Dahlan berdiri memperhatikan wajah kekasihnya.

"Mau dimana?"

"Dimana aja saya nggak masalah."

"Yaudah, di halaman aja ngemper nggak masalah dong?"

Lekuk sabit muncul di bibir lelaki itu. Ngebuat Hana semakin lama semakin ketularan untuk tersenyum.

"Ngemper bahasa mana?"

"Udah. Kamu duduk. Aku buatin teh manis dulu."

"Jangan." Lelaki itu menyergah, menahan, menyentuh pergelangan tangan Hana dan membuat Hana terpaku di tempat. Apalagi yang lebih menyeramkan dari tatapan seorang Dahlan Angkasa? Ketika setelah menatap, mereka saling diam. Tetapi tidak dengan matanya, bagi Hana matanya berbicara seperti 'menginginkan sebuah sesuatu' yang Hana pun tidak mengerti.

"Ka, aku harus bikinin kamu air putih dulu ya?" ucap gadis itu diiringi rasa takut dan percayalah bahwa jantungnya ingin berlari secepat mungkin dari sana.

Tangan yang bersentuhan itu terlepas. Tanpa bersalah, lelaki itu tertawa kecil.

"Hhhhhh. Kenapa sih ketika saya tatap selalu aja buang muka? Saya pengin kamu hargain."

"Aku lihat kok. Tapi ya emang nggak bisa lama-lama aja."

"Kenapa?"

"Ya nggak tau kenapa."

"Satu lagi," gumam lelaki itu bersamaan dengan Hana yang menatap matanya penuh antusias.

"Tidak ada seorang lelaki yang berteman tanpa menyangkutpautkan perasaan."

Hana masih menatap dan tak beralih sama sekali. Tetapi ketika berbicara begitu, Angak memilih untuk duduk dan menatap ke arah lain. Membuat Hana bingung dan bahkan gadis itu tak tahu harus melakukan apa.

Meskipun sebetulnya kakinya sangat gatal ingin mengambil air putih. Tetapi argumen yang Angka lontarkan, membuat gadis itu ingin buru-buru membalasnya. Dan satu lagi yang ia takutkan, ia takut bahwa pertemuan malam ini berakhir dengan masalah yang diselesaikan saja belum. Karena semenjak gadis itu menangis di sore kala itu, Dahlan samasekali tak ingin mendengar penjelasannya.

Sekarang ia paham. Sampai kapanpun, Dahlan tak akan pernah ingin mendengarkan penjelasannya.

Ia memilih untuk mengambil air putih, setelah itu meletakkannya di meja. Seorang lelaki itu masih menunggu dan berharap bahwa Hana akan mengatakan sesuatu. Hingga akhirnya Hana duduk dan Angka memilih untuk bersuara lagi.

"Iya, kan?"

"Nggak. Nggak semua laki-laki yang sahabatan sama perempuan itu punya perasaan sama sahabatnya."

Dahlan menghembuskan napasnya. "Kamu terlalu percaya sama isi kepalamu yang melawan arus, Han. Padahal sudah jelas, arus itu benar."

"Kamu yang terlalu percaya sama isi kepalamu, Ka. Kamu ber-asumsi bahwa Rama itu menyukai aku. Padahal jelas-jelas dia punya pacar. Berkali-kali aku bilang?"

"Han, saya itu laki-laki. Saya tau tatapan dan cara dia bersikap padamu."

"Ya kalau kamu tahu, kenapa kamu nanya sama aku yang jelas-jelas aku nggak tahu? Kenapa kamu nggak nanya sama orangnya langsung aja? Biar jelas."

Lelaki itu membasahi bibirnya. Bisa dikatakan bahwa yang Hana katakan memang benar. Tetapi tetap saja, lelaki itu tak ingin tahu dan mau tahu. Ia hanya ingin Hana mempercayai asumsinya. Bahkan jika Hana memang mempercayainya, ia tak tahu lagi harus melalukan apa. Meskipun sebetulnya ia ingin sekali Hana dan Rama menjauh dan memutuskan persahabatan mereka, tetapi lelaki itu lebih tahu arti persahabatan. Kecuali ada rasa dibalik persahabatan itu sendiri.

"Kalau problemnya nggak pernah ada solusinya," belum selesai Hana berbicara, lelaki itu sudah memotong nya lebih jelas.

"Jauhin Rama demi saya, Han."
























jauhin mark demi doy ya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jauhin mark demi doy ya?

Because | ft. MARKLEE✔[ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang