34

9.6K 1.5K 599
                                    

Fajar telah datang, membawa cahaya jingga di tengah pemukiman berkabut tebal yang terasa begitu dingin, angin pagi bersuhu rendah bertiup pelan menghempas dedaunan kuning yang diselimuti titik-titik embun. Aroma pinus kembali tercium samar walau harus bercampur dengan anyir darah ditambah aroma jelaga dari pembakaran puluhan obor. Suasana pemukiman Uranus masih terasa begitu sepi, keheningan mencekam memang tak lagi terasa namun hawa suram yang menjilat setiap anggota kawanan membuat salah satu pack terbesar itu meringkuk dalam kengerian.

Napas berhembus panjang, memperlihatkan kepulan uap tipis dari mulut berbibir pucat yang bergetar menahan suhu menusuk tulang. Tubuh tak terbalut kain itu terlihat begitu dingin, pucat pasi dengan pola-pola abstak berwarna hitam yang selalu berkaitan dengan sang kegelapan.
Walau suhu begitu rendah menusuk hingga ke tulang, napas beruap dan kulit terasa beku sosok alpha pemangsa itu tak beranjak sedikitpun dari posisi berlututnya, mendekap erat seorang omega bermantel bulu yang hampir kehilangan aroma wisterianya.

Bahkan sandalwood tak lagi tercium pekat, aromanya samar bagai feromon para alpha biasa, tidak mendominasi, bahkan tidak tercium tangguh.

Kesedihan, kesedihan mendalam membuat sepasang mate yang masih saling mendekap di depan meja batu itu hampir kehilangan feromon mereka, kehilangan antusiasme pada kehidupan yang memberi sebuah takdir buruk.

Mata tajam sang alpha pemangsa menatap meja batu upacara dengan sorot dingin, memperhatikan permukaan meja suci yang kini berwarna kehitaman, kotor oleh darah mahluk hina.

"Renjun, kau ingin melihatnya membusuk disini?" Tanyanya pada sang omega.

Omega mungil itu bergerak pelan dalam dekapan sang alpha, mata rubahnya terbuka sayu kemudian menatap kosong sekitar yang telah sepi.
"Bahkan aku tak sudi menoleh kebelakang, Jeno." Balasnya lirih, sarat akan kebencian.

Tangan kokoh sang pemangsa bergerak naik, mengusap helaian rambut sang omega lalu mendekapnya erat, berusaha menyalurkan kekuatan dan semangat walau dirinya pun hancur berkeping-keping.

Suasana kembali menghening, tak ada yang membuka suara lagi walau tempat upacara telah kosong, tidak ada satupun anggota kawanan yang tinggal setelah Taeyong memerintahkan mereka untuk kembali ke rumah masing-masing.

Keheningan itu tidak bertahan lama, suara melengking seekor elang tiba-tiba memecah suasana.
Jeno mendongak, mata tajamnya memperhatikan seekor elang besar terbang menukik ke arah mereka dan dalam waktu singkat elang besar berparuh bengkok itu telah berhasil mendarat di atas meja batu.

"Harpy.."

Elang itu menatap mata Jeno dengan sorot kelam, persis seperti tatapan menyebalkan Mark yang tidak ingin dibantah.

Jeno tertegun sejenak saat elang milik Mark tiba-tiba menancapkan kuku kakinya yang tajam ke kepala Yesun yang telah terpisah dari tubuhnya. Mata Jeno terus mengawasi pergerakan Harpy, ia melihat elang itu menggelindingkan kepala Yesun agar kembali ke sisi tubuhnya dan tak lama hewan peliharaan Mark itu kembali mencengkeram kepala Yesun lalu mengoyak dagingnya menggunakan paruh, memisahkannya dari tulang lalu menelannya sebagai makanan pagi.

Mata tajam Jeno melebar, memperhatikan Harpy yang terlihat begitu santai menikmati daging Yesun sambil menatapnya dengan sorot datar.

"Kau tidak keberatankan kan jika peliharaan ku memakan sampah mu?"

Pemangsa itu menoleh dan samar-samar ia melihat sosok tegap berjalan keluar dari pekatnya kabut.
"Mark Hyung.." Desis Jeno.

Sosok tampan bermantel hitam menatap Jeno disertai seringai kecil, "bahkan kremasi tidak pantas didapatkan oleh mahluk sepertinya."

Jeno terdiam, ia kembali menatap Harpy yang masih asik mengoyak tubuh Yesun, "ya, bahkan dia masih terlalu beruntung karena Harpy sudi memakannya."

"Pulanglah, bawa omega mu dan bersihkan dia. Kulitnya sangat kotor." Kata Mark sambil memicingkan mata tajamnya.

ÎNTUNERICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang