PROLOG

3.2K 136 5
                                    

Viona Louisa merapikan pakaian-pakaian mungil yang dibelinya dari mall tadi siang. Ini kali pertama ia memberanikan diri membeli perlengkapan bayi sendiri. 

Ia tidak tahu apakah bayinya akan memakai baju-baju cantik yang dibelinya.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Viona menoleh.

Aini Sudrajat tampak berkacak pinggang di tengah pintu. Rambutnya yang lurus sebahu tampak sehalus sutra membingkai wajahnya yang oriental. 

Aini sangat cantik, kulitnya putih mulus dan hidungnya bangir. 

Ia adalah istri Wisnu Allendra, ayah dari bayi yang dikandung Viona.

"Untuk apa kau membeli baju-baju itu?" cemooh Aini sambil melangkah ke dalam kamar.

"Eh, Mbak Aini. Kapan datang?" sapa Viona sopan.

Aini mengibaskan tangan. 

"Sudah kubilang, kau tidak perlu menyiapkan apa pun! Semua sudah kusediakan di rumah. Baju, popok, selimut bahkan sampai boneka mainannya, semua sudah lengkap di rumah!"

Aini meraup setumpuk bedong mungil dan mencampakkannya ke lantai. "Dia tidak butuh ini!"

Viona ternganga memandang Aini, perempuan itu kelihatan sangat gusar.

"Ada apa, Mbak?" protesnya bingung.

Aini yang dikenalnya selama ini sangat baik, bersahabat dan penyabar. Namun, belakangan seringkali mencak-mencak tak karuan.

"Ada apa katamu?" hardik Aini keras. 

Matanya membelalak tidak senang pada Viona. 

"Jangan pura-pura gak tau!"

Wajah Viona berubah pucat. Dirabanya perutnya yang membuncit dan diusapnya.

Aini semakin kesal dan mendengkus. "Bayi yang di perutmu itu penyebabnya!"

"Tapi – kan Mbak Aini yang memintaku jadi ibu pengganti?"

Aini menatapnya dingin.

"Iya, aku memang memintamu melakukan bayi tabung ini. Tapi aku tidak menyuruhmu bersikap manja pada suamiku!"

"Astaga, Mbak Aini! Jaga perkataan Mbak!" Viona berteriak marah, wajahnya yang cantik memerah karena kesal.

Aini hanya mengedikkan bahu dan duduk di tepi tempat tidur.

"Asal Mbak tau ya, aku gak pernah menggoda Mas Wisnu. Selama ini dia perhatian cuma karena aku mengandung anaknya. Itu saja!" Viona berdiri gusar, perutnya membulat besar. Menurut perkiraan dokter, ia akan melahirkan dalam satu minggu ke depan.

"Lagian, Mbak Aini yang memintaku menjadi ibu pengganti bayi tabung kalian. Aku dari awal sudah menolak, tapi Mbak Aini terus membujukku." Viona menghentakkan kakinya.

Aini bergeming, ia cuma menatap Viona yang mulai memunguti bedong dari lantai.

"Banyak hal yang sudah kukorbankan untuk kehamilan ini Mbak," tutur Viona lagi, ia melangkah ke kursi rias dan duduk. Diletakkannya bedong-bedong itu di atas meja.

"Pertama, aku terpaksa berhenti kerja untuk menghindari gosip gak sedap. Lalu aku harus tinggal di villa kalian ini, di bawah belas kasihan kalian berdua. Aku mengorbankan harga diriku, untuk ini!"

"Tapi kau kan dibayar!" cibir Aini datar.

"Hei, aku gak butuh uang dari kalian!" seru Viona gusar, "uang peninggalan Mas Bram, almarhum suamiku, cukup untuk biaya hidupku!"

Aini menatapnya dingin dan kejam. 

"Kalo gitu, kau bisa menggunakannya setelah melahirkan nanti, " ujarnya tidak perduli, " Aku minta kau melupakan bayi itu setelah ia lahir!"

Viona terperangah, hatinya sangat sakit mendengar ini. "Bagaimana mungkin, Mbak? Dia butuh ASI, butuh ibu!"

"Bayiku tidak butuh ASI-mu, dia akan minum susu formula!" seru Aini jijik, "dan aku ibunya, dia tidak butuh kau merecokinya!"

Aini berdiri dan melangkah keluar. Dipandangnya Viona sekali lagi.

"Aku mau, setelah ini, kau pergi jauh dari keluargaku Vi! Sekali lagi! Tolong pergi dari hidupku! Aku mencintai Wisnu dan tidak mau kehilangannya. Kau dengar Viona!" teriak Aini marah.

Viona memegang perutnya, tiba-tiba terasa kram. "Kalo Mbak Aini maunya begitu," gumam Viona menguatkan dirinya, " aku akan segera pergi setelah partus."

"Ya, seperti itu!" tukas Aini sambil berlalu pergi.

Viona kembali memegang perutnya, kramnya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan ke pintu kamarnya. Tiba-tiba pahanya terasa basah. Apakah air ketubanku pecah? Batin Viona kacau.

"Bik Inah! Bik Inah," panggil Viona keras.

Seorang perempuan tua tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ya Bu?" tanyanya cemas.

"Tolong telfonkan Rumah Sakit Bunda Sehati, sepertinya ketubanku sudah pecah. Aku akan melahirkan lebih awal." Viona meraih tas yang sudah disiapkan untuk persalinan dan berjalan menuju teras. Ia akan menunggu ambulans rumah sakit di sana.

"Biar saya saja yang membawa tasnya, Bu." Bik Inah berlari kecil menyusulnya setelah menelfon rumah sakit dan melapor pada Wisnu, majikannya.

"Gak usah Bik," tolak Viona halus, "Bibik tolong bereskan saja semua barangku ya, masukkan ke dalam koper yang kubawa kemarin dulu. Nanti ada temanku yang menjemput kemari."

Bik Inah mengangguk dan berjalan kembali ke kamar. 

Viona memandangnya sedih. Ia tidak akan bertemu perempuan tua yang baik hati itu lagi. 

Ia akan pergi jauh setelah melahirkan anak yang dikandungnya. 

MEANT TO BE  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang