Wisnu menatap kesal pada Chelsy. "Lihat apa yang sudah kamu lakukan!" bentaknya marah pada perempuan itu.
Chelsy hanya menundukkan kepala. "Maaf, Pak. Tadi kepala saya tiba-tiba sangat pusing," kilahnya lalu berbalik dan berjalan kembali ke ruangannya.
Wisnu menarik rambut dengan kesal, membuat penampilannya tampak sangat acak-acakan.
Ia ingin mengejar Viona dan menjelaskan segalanya, Akan tetapi, ia tidak ingin menimbulkan gosip dan spekulasi di kalangan karyawan.
Wisnu lalu mengeraskan hati dan berusaha berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan di atas mejanya. Namun tidak sampai satu jam kemudian, ia akhirnya menyerah, tidak sanggup lagi. Ia lalu bangkit dan berjalan keluar dari ruangan kerjanya.
"Saya pulang sekarang, Chel," ucapnya tak acuh ketika melewati ruangan sekretaris.
"Baik, Pak. Hati-hati di jalan, Pak," jawab Chelsy kembali ke sikap profesional.
Wisnu tidak menyahut dan terus melangkah menuju lift. Ia meraih teleponnya dan menelepon Brian, meminta pria itu menggantikannya ke Serpong untuk bertemu dengan klien mereka siang ini.
Wisnu memacu mobilnya secepat mungkin. Ia ingin segera bertemu Viona dan menjelaskan bahwa apa yang dilihat perempuan tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Bahwa Chelsy tidak sengaja merasa pusing dan terjatuh menimpanya.
Wisnu memarkirkan mobil di garasi dan bergegas masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Bik Inah sedang bersama Angela di ruang keluarga, memberi bocah kecil itu makan siang.
"Pa—pa," teriak Angela senang melihat kedatangan ayahnya. Ia merentangkan tangan meminta di gendong.
Wisnu lalu mengangkat gadis kecil itu dan menggendongnya sesaat. Kemudian di dudukkannya kembali ke kursi tinggi.
Wisnu memandang Bik Inah. "Mana Viona, Bik?" tanyanya.
Bik Inah menatap tuannya, bingung. "Lah, tadi katanya mau pergi ke kantor Bapak?" tanyanya balik.
"Jadi, dia belum pulang?" ujar Wisnu tidak percaya.
"Belum, Pak," jawab Bik Inah pendek.
"Ah, sial!" umpat Wisnu kesal.
"Dia diantar Andi tadi?" tanyanya lagi sambil mengeluarkan telepon genggam hendak menghubungi Andi.
Bik Inah menggeleng. "Tidak, Pak. Bu Viona naik taksi online tadi," jawab perempuan tua itu.
"Lah, kenapa begitu? Apakah Andi sedang ada pekerjaan tadi?" sembur Wisnu, memasukkan kembali telepon genggamnya ke dalam saku celana panjang.
"Setahu saya tidak, Pak. Tadi kata Bu Viona, dia tidak enak merepotkan Andi," ujar Bik Inah.
"Repot?" ulang Wisnu membelalak, "Tidak ada yang direpotkan! Memang sudah pekerjaan Andi untuk mengantar dan menjemput. Lain kali kalau Viona mau keluar rumah, bilangin dia harus diantar Andi ya, Bik. Bilang juga ke Viona, kalo salah satu tugas Andi memang menyupir," tukas Wisnu keras.
Ia beranjak menuju ke kamar kerja. Pikirannya kacau. Ia sudah mencoba menelepon Viona namun tidak ada terdengar nada sambung, mungkin teleponnya dimatikan atau kehabisan baterai.
Wisnu mendesah resah dan duduk di kursi belakang meja kerja. Bagaimana kalau Viona kembali ke Surabaya atau tiba-tiba memutuskan untuk pergi jauh? Wisnu mulai berandai-andai.
Ia menggeleng, tidak mungkin Viona sepicik itu. Viona yang dikenalnya adalah perempuan kuat dan berkepala dingin, ia akan kembali kemari. Paling tidak, demi Angela. Pikir Wisnu lagi menjawab keresahan hatinya. Ia lalu membuka komputer dan mencoba berkonsentrasi untuk bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEANT TO BE [TAMAT]
RomansaTiba-tiba Aini berdiri, matanya yang basah membelalak. "Kau akan meminjamkan rahimmu Vi? Ya Tuhan ... Ya Tuhan ... terima kasih Viona, kau memang baik sekali." Dipeluknya Viona erat. Viona terperanjat, apa yang telah diucapkannya? Tidak, tidak mung...