Part 02 - Penginapan
****
Mata gue bergerak kecil saat aroma minyak kayu putih mengganggu indra penciuman gue. Kening gue mengkerut bersamaan dengan kembalinya kesadaran gue yang sempat hilang. Entah sudah berapa lama, gue juga enggak tau.
Langit-langit berwarna putih kusam di atas gue menyambut begitu membuka mata. Ada sarang laba-laba yang menjuntai di sudutnya, menandakan kamar minimalis yang gue tempati sekarang jarang dibersihkan. Lalu gue mengerjap-ngerjap seraya mengumpulkan kepingan nyawa yang sepertinya masih betah untuk tertidur.
Gue masih bertanya-tanya, ini di mana dan ke mana kak Radit?
Lalu sebuah dengkuran tenang di sebelah gue pun terdengar. Hal itu membuat gue tiba-tiba gamang sendiri. Pasalnya, badan gue yang terlapis selimut baru gue sadari ternyata ada yang meluk dari luar.
Refleks gue nahan napas. Kepala gue noleh pelan dan mata gue melebar gitu aja.
"WAAAAA!!" teriak gue histeris sampai-sampai enggak sadar malah dorong kak Radit hingga terjatuh dari ranjang.
Em, oke. Gue tau itu terlalu kasar, tapi gerakan ini adalah stimulus pertama gue saat tau kalau ada 'laki-laki dewasa' tidur di sebelah gue. Bahkan gue juga yakin kalau perempuan normal pun bakal lakuin hal yang sama atau mungkin lebih parah dari ini?
"Bisa kalem dikit gak sih, Mauli?"
Well, Mauli merupakan salah satu nama panggilan gue. Dari Kanara Zufir Maulida, bebas mau pilih yang mana. Ada Maul, Kanara, Ara, panggil sayang juga boleh.
"LO APAIN GUE SEMALAM HAH?!" sergah gue mengabaikan rintihan kak Radit yang udah kebangun sambil ngusap-usap punggungnya yang kebentur lantai.
Panik, mungkin kata itu yang cocok menggambarkan perasaan gue saat ini.
Enggak, enggak.
GUE MAU NANGIS HELP.
Apalagi pas gue sadar kalau atasan kak Radit udah enggak ada sisa baju dalam putihnya doang. Walau celananya masih melekat di sana, tapi tetap aja gue enggak bisa berhenti berpikiran negatif sebelum dia jelasin apa yang terjadi setelah gue pingsan karena kedinginan semalam.
"Udah gak dingin?" tanya kak Radit hendak mendekat dan mengabaikan pertanyaan gue yang terdengar seperti menuduh tadi.
Gue langsung narik selimut dan merapat ke ujung ranjang untuk melindungi diri dan bersiaga. Pertanyaan dia yang baru aja pun gak bisa gue dengar dengan baik karena terlalu sibuk sama pikiran sendiri.
"KAK, JAWAB DULU IHHH!!" kata gue menuntut, masih betah pake nada tinggi biar suasananya lebih dramatis. Walau sebenarnya, gue lagi berusaha berpikir positif dan menepis segala pikiran buruk gue tentang kak Radit.
Cowok ini enggak ambil kesempatan dalam kesempitan, 'kan??
Iya, gue sadar sepenuhnya kalau gue enggak cantik kayak cewek-cewek selebgram atau putih mulus kayak idol Korea. Tapi mama sama tante Laras--mamanya kak Radit--sering muji gue cantik. Seenggaknya dari dua ibu-ibu komplek itu, gue juga gak mau nutup mata ke kak Radit. Gimana pun dia laki-laki. Bisa aja kelepasan kan???
"Menurut kamu apa?"
"VIRGIN GUE!"
Kak Radit hela napas. Rahangnya yang tegas enggak nunjukin reaksi sama sekali, tetap datar dan tenang. Berbeda dengan gue yang udah kayak abis liat alien ngajarin gue matematika di rumah pak Surya--guru matematika gue yang terkenal killer seantero sekolah.
Gue masih merhatiin dia yang belum jawab dan kini jalan ke sisi ranjang, menggapai kemeja kuning pastelnya yang menyampir di kepala tempat tidur. Kemudian memakainya walau masih dibiarkan terbuka. Harap-harap cemas, kak Radit dengan santainya duduk di sisi ranjang. Lalu natap gue tanpa ekspresi, sukses bikin gue merinding disko di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Become Your Wife || Lee Taeyong
Teen Fiction____ "Dipaksa nikah gara-gara dituduh lakuin hal mesum sama nikah karena emang udah ngelakuin hal itu beda, Kak. Kita yang gak bersalah ini bakal dicap jelek di masyarakat. Masa depan gue ataupun karir lo bisa hancur dalam sehari." Mungkin dipaksa m...