Part 08 - Our Agreement
****
Abis baca apa yang gue tulis tadi, kak Radit natap gue dengan alis naik sebelah.
Pasti mau protes nih.
"Kamu enggak ngerasa ini terlalu berlebihan?"
Gue tersenyum bangga. Tebakan gue gak pernah meleset.
"Enggak," jawab gue santai. Tapi mulut gue hampir aja keceplosan ngumpat saat kak Radit mendadak merebut bolpoin yang gue pegang. Kemudian dia coret poin ke dua 'gak boleh sentuh'
Tiba-tiba jantung gue kayak berhenti. Mati gue.
"Lo jangan macem-macem ya-AW!" ancam gue yang refleks megang jidat karena kak Radit noyor gue pake ujung bolpoin.
"Kalau orang tidur itu urusan enggak sadar. Nulisnya yang masuk akal dikit," tukas kak Radit berubah galak. Gue jadi menunduk, secara naluri ngehindarin tatapan mengintimidasinya. Kalau dulu, gue bakal ngadu ke tante Laras setiap kak Radit mulai galak begini. Gue dibelain walaupun gue yang mancing duluan. Tapi sekarang situasinya beda. Siapa yang mau bela gue? Harusnya tadi mikir panjang sebelum nulis huhuhu.
"Ini, juga. Kalau diajak ngomong tuh jangan tiba-tiba nunduk," katanya lagi buat gue tersentak. Tangan kak Radit nyentuh dagu gue dan menggerakkannya ke atas, mau gak mau kepala gue otomatis dongak natap dia. Ugh. Gue menelan ludah susah payah. Muka gantengnya jadi nyeremin, tapi ganteng, tapi nyeremin.
Kak Radit membuang napas kesal. "Kita ini apa?" tanyanya. "Udah suami istri, 'kan? Lagian aku gak akan aneh-aneh sama kamu, jadi kamu juga jangan ngajuin syarat yang aneh-aneh."
Dengar kalimat itu, gue cuma bisa meringis dan gigit bibir bawah. Tak kuasa beradu tatap dengan kak Radit yang masih keliatan marah, gue yang udah merasa terpojok akhirnya milih jatuh terduduk di hadapannya. Lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan gue. Mata gue memanas lagi dan itu sama sekali gak bisa gue bendung. Akhir-akhir ini, gue ngerasa cengeng banget.
"Iya, maaf ...." lirih gue bergetar kecil dan mulai terisak. Entah apa tanggapan kak Radit, gue gak berani ngeliat dia. "Maaf kalau banyak maunya. Gue cuma ... butuh lebih banyak waktu untuk beradaptasi ... pelan-pelan nerima kehidupan baru kita. Tapi gue juga belum siap kalau harus tidur berdua. Gue beneran takut, Kak ...."
Beberapa saat, cuma tangisan gue yang memecah keheningan di antara kami. Tangan gue berusaha menghapus semua jejak air mata yang mengalir ke pipi gue, tapi air mata gue sama sekali gak mau berhenti. "Ini kali pertama gue tinggal sama orang selain orang tua gue. Semuanya masih terasa asing. Bahkan masalah yang nimpa kita minggu lalu, gue masih coba berdamai. Ini ... gak mudah," jelas gue di sela-sela tangisan gue yang pecah.
Bisa gue liat kak Radit ikut berjongkok sama seperti posisi gue sekarang. Melipat satu tangannya di atas lutut, lalu tangan satunya lagi mengusap rambut gue dengan tenang. Dia mendengkus, natap gue dengan kening mengerut. "Mauli, Mauli ..., aku masih heran sama isi kepala kamu yang gak pinter ini."
Ada jeda di kalimatnya. Dia menghela napas sesaat. "Apa yang kamu pikirin sih sebenarnya? Kalau gak siap, lalu kenapa enggak nolak? Udah ngerasa bisa nyelamatin dunia, hm?" tanyanya lembut kini, tapi masih penuh sarkas. "Kamu beneran bego tau."
Garis wajah kak Radit enggak sedingin dan sekaku tadi. Ajaibnya lagi, air mata gue pun berhenti saat kak Radit menyentuh pelan bawah mata gue untuk menyingkirkan semua jejak air mata gue dari sana.
"Gue emang bego, gak mikir jangka panjangnya bakal gimana. Tapi keputusan ini bikin semua orang bahagia. Jadi gue gak apa-apa," balas gue masih berlinang air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Become Your Wife || Lee Taeyong
Teen Fiction____ "Dipaksa nikah gara-gara dituduh lakuin hal mesum sama nikah karena emang udah ngelakuin hal itu beda, Kak. Kita yang gak bersalah ini bakal dicap jelek di masyarakat. Masa depan gue ataupun karir lo bisa hancur dalam sehari." Mungkin dipaksa m...