[ 06 ] Final Decision

56 5 0
                                    

Part 06 - Final Decision

*****

Mata gue yang bengkaknya udah sebesar biji salak ini melirik kembali jam dinding. Fokus gue terpecah saat mendapati kotak kecil berwarna merah yang tergeletak di dekat jam tersebut. Gue tertegun, menatapnya.

Kotak cincin anjir. Mampus gue.

Buru-buru gue buang pikiran dan alihin atensi ke jam yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Gue pun turunin kaki dari tempat tidur seraya berusaha mengabaikan kotak cincin itu di sana. Walau pikiran gue malah melalang buana karena tadi ngomong ke mama bakal ngikutin apa pun keputusan kak Radit.

Dalam artian kalau dia nerima, mau enggak mau, gue juga harus nerima. Begitu pula sebaliknya. Dan keberadaan cincin itu di sana seakan memperjelas kalau kak Radit mutusin buat nerima pernikahan ini.

Ada satu pertanyaan yang berputar-putar di kepala gue sekarang.

'Kenapa?'

Gue pikir, kak Radit bakal nolak buat ngelanjutin. Namun ingatan gue tiba-tiba kembali pada perkataan dia beberapa jam yang lalu saat di mushola.

Yang mau main-main siapa, Mauli?

Gue yang baru masuk ke kamar mandi pun langsung mengacak rambut frustrasi. Kadang gue tuh enggak ngerti sama isi kepala kak Radit yang cuma dipenuhi rumus-rumus itu. Dia agak ... sulit ditebak buat gue jadi kayak orang bego setiap di dekat dia.

Tangan gue nepuk pipi dua kali. Bodo amatlah kalau dia milih lanjutin pernikahan ini. Memangnya kenapa? Kan cuma kak Radit, bukan orang asing. Gue duah kenal dia dari SD, udah gue anggap kayak kakak sendiri. Walaupun sikapnya kadang bikin gue mau makan orang, tapi dia enggak pernah bener-bener berhasil bikin gue makan orang beneran.

Satu helaan napas penuh tekad gue embuskan, menatap pantulan diri gue di depan cermin lalu mencuci wajah sembari mencoba tetap tenang. Sampai suara ketukan dari pintu kamar gue terdengar dan membuyarkan fokus gue.

"Mauli?"

Sontak gue menggigit bibir bawah. Itu suara kak Radit.

"Gue di kamar mandi!" jawab gue setengah teriak, merapatkan diri ke belakang pintu kamar mandi dan terduduk dengan kaki yang menekuk. Gak tau kenapa tiba-tiba menciut begini pas dengar suara kak Radit.

Jantung gue berdetak gak karuan saat menyadari ada langkah kaki mendekat lantas berhenti tepat di depan pintu. "Kamu yakin mau ikut keputusan aku soal pernikahan ini? Aku mungkin bakal coba ngelanjutin, Mauli. Jadi aku kasih kamu kesempatan terakhir buat berubah pikiran," ungkapnya yang buat gue terdiam lagi dan meringis.

Mata gue menyendu. "Sesuai yang lo denger dari mama gue, Kak. Apa pun keputusan lo, gue ikut. Oh, ya. Sebelumnya gue belum ucapin ini ke lo. Makasih udah nolongin gue semalam dan hari ini ..." Gue menggigit bibir bawah lalu melanjutkan, "dan maafin gue ya karena nolongin gue malah bikin hidup lo jadi berantakan." Gue tertunduk dalam sambil memeluk lutut, meringkuk. Sementara di balik pintu, gue masih nunggu respon kak Radit, bagaimana ekspresi orang itu.

Mata gue memanas lagi. Suara pintu kamar dibuka, menjadi penanda bahwa dia udah pergi dari kamar. Setelah kejadian yang nimpa kami, gue sama sekali ngerasa belum siap ketemu kak Radit. Dada gue jadi sesak.

Gue coba berdiri dengan sisa tenaga gue. Dengan lunglai membuka pintu kamar mandi dan keluar dari sana. Namun tangan gue yang masih memegang gagang pintu kamar mandi pun terkulai lemas saat mata gue bertukar pandang dengan kak Radit. Orang itu ternyata belum keluar dari kamar gue. Dia menyandarkan punggung di depan pintu yang tertutup, memandangi gue sambil bersedekap.

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang