[ 20 ] Personal Items

21 1 0
                                    

Part 20 - Personal Items






****

"Kamu suka dia?"

"Itu gak penting." Gue hendak mendorong kak Radit agar menyingkir dari pintu mobil. Namun gue harus menahan umpatan karena dia enggan memberi celah.

"Pent--" Kalimat kak Radit berhenti saat dering di ponselnya menginterupsi. Memeriksa nama kontak, mengangkat telpon, lalu dia nyuruh gue masuk ke dalam mobil dengan segera. Gue masih kebingungan saat kak Radit berlari ke sisi kemudi dan tanpa banyak bertanya meninggalkan area perpustakaan.

"Iya, Bund." Kak Radit lepas topi dan maskernya sembari menjawab suara dari telpon tersebut. "Ini udah di jalan kok. Hm, iya. Kalian hati-hati."

Mendengar itu, gue diam-diam membuang napas lega. Yang nelpon antara mama gue atau mertua. Siapa pun itu, gue mau sungkem. Karena saat gue melihat melalui jendela, Hacio tampak keluar dari perpustakaan untuk menyusul kami. Gue gak bisa bayangin kalau telat sedikit aja bakal ada narasi apa.

"Ada apa?" tanya gue santai begitu kak Radit menutup panggilan, kepo mereka habis ngomongin apaan. Sempat menoleh ke gue sebentar lalu tiba-tiba aja nginjek rem buat gue hampir kejedot dashboard. "KA--"

Belum keluar sepenuhnya suara gue untuk memerotes, kak Radit lepasin seatbeltnya dan mendadak condongin badan ke gue. Kemudian nyentuh kedua bahu gue. Kedua mata bulat yang mantulin wajah gue itu keliatan sayu, sementara tangannya udah dorong gue mundur sampai punggung gue nyentuh kursi. Tubuh gue gak bisa merespon gerakan mendadak itu sampai akhirnya gue milih nutup mata karena panik.

"Ngapain nutup mata?" Pertanyaan itu sukses bikin gue meruntuki diri karena tadi mikir kak Radit mau nyium gue. Aaaaaaa, malu banget.

Tanpa membuka mata, gue memalingkan wajah ke kiri. Enggak berani natap kak Radit yang gue tebak pasti masang ekspresi menghujat. Gue berdeham untuk menguasai diri. "Ya lo kira gerakan barusan kayak mau ngapain gue hah?" jawab gue judes.

"Ppfftt, hahahaha!"

Suara ngakak kak Radit mendominasi buat gue membuka mata dan noleh kesal ke arahnya. Tangan besarnya itu ngacak rambut gue lantas membawa balik badannya ke tempat semula.

"Kamu pikir aku mau nyium kamu?" tanyanya sambil masang seatbelt miliknya lalu kembali tertawa saat gue membuang muka gak mau jawab. "Mauli, Mauli. Sebelumnya aku udah bilang kan, gak akan ngapa-ngapain kamu sebelum dapat izin kamu dulu. Aku gak mau dapat tamparan soalnya," lanjutnya.

Gue gak punya kalimat buat menanggapi itu dan hanya merespon dengan dengkusan kasar. Saat kak Radit menarik pedal dan melanjutkan perjalanan kami, gue bersedekap menatap jauh ke beberapa kendaraan yang ada di depan mobil kami.

"Inisiatif kek," gumam gue.

"Hn?"

"Eh?" Gue menyahut agak kaget. Badan gue sampai menegak buat nyari topik lain. Gak mungkin gue memperjelas apa yang baru aja gue gumamkan.

Sementara itu, kak Radit masih setia nunggu sambil fokus menyetir.

"Tadi siapa yang nelpon?" tanya gue mengalihkan topik.

"Yang nelpon tadi bunda. Katanya, mereka mau bertamu. Udah perjalanan ke apart," jawab kak Radit tenang yang gue balas anggukan kecil. Lalu kembali menyandarkan kepala gue dengan nyaman ke kursi.

Dalam keheningan itu, gue jadi bertanya-tanya. Sampai kapan pernikahan ini akan bertahan? Setiap hari was-was terhadap orang-orang di sekolah, takut mereka akan tahu suatu saat nanti. Di sisi lain, gue juga berharap banyak kalau Gianna gak akan pernah kembali ke kehidupan kak Radit. Jika itu terjadi, apakah gue sanggup mempertahankan diri di posisi ini?

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang