[ 17 ] Melankolis

48 1 0
                                    

Part 17 - Melankolis

****


Tuhkan. Kak Radit emang aneh. Dia sampai bukain gue pintu mobil pas mau keluar tadi. Gue juga notice ketika ada bapak-bapak yang jalan ke arah kami, dengan cepat kak Radit nukar posisinya hanya untuk melindungi gue dari tabrakan. Bahkan ayam geprek yang sempat gue singgung di mobil pun tiba-tiba aja dibawain sama om-om grab ke apartemen.

Hmmmmmmmmmmm ^__________^

Permintaan maafkah karena bikin gue malu di kelas tadi? Hmmmmmmmmmmmmm.

Pasti ada sesuatu di sini, tapi gue beneran mager buat ngorek informasi apa pun yang disembunyikan kak Radit. Jadi, gue pun membiarkan semuanya mengalir gitu aja tanpa banyak memerotes. Mengikuti ke mana seorang Raditya Tubagus Ragendra akan menuntun hubungan ini ke depannya. Mau gak mau, memang seharusnya kami berjalan dan gak berada di posisi itu-itu saja.

Keanehan itu terus berlanjut di hari-hari berikutnya. Gak kayak sebelumnya, kegiatan dia yang mancing-mancing sumbu pendek gue mulai berkurang sekarang. Entah jin macam apa yang menyambar kak Radit, gue harap ini bertahan selama mungkin.

Tapi sebenarnya ... gue curiga kak Radit abis dirukiyah tante Laras. Soalnya ini keademan.

"Kak, lo beneran gak mau bantu gue tarik ini sofa ke dalam kamar?" tanya gue, natap kak Radit yang baru aja nyesap teh hasil seduhan gue sekitar lima menit yang lalu di pantri.

Seolah tidak ingin diganggu, ia menggedikkan bahu menjawab. Sukses membuat gue mendecak frustrasi. "Betah banget lo tidur di luar, katanya banyak nyamuk," sinis gue sambil memicingkan mata dengan sengit. Walau nyatanya, gue selalu ngerasa menyesal karena chat gue yang waktu itu.

Kak Radit ngorbanin kamarnya buat gue dan milih gantiin gue tidur di sofa. Bahkan rela nemenin gue dulu sampai tertidur barulah dia keluar dari kamar. Gue emang gak mau seranjang, tapi bukan berarti gue sedingin itu sampai tega ngebiarin dia beramah-tamah bersama nyamuk setiap malam. Lingkaran hitam di bawah matanya jelas menandakan bahwa malam-malam yang dilaluinya selama beberapa hari ini jauh dari kata nyenyak. Udah pasti gue merasa bersalahlah.

Makanya gue berusaha nebus dosa dengan mindahin sofa sialan ini ke kamar, semata-mata biar kak Radit dapat tidur lebih layak malam ini. Tapi berkali-kali gue coba dorong, sepertinya benda ini nyaris gak ada pergerakan yang mencolok. Berulang kali gue ngelakuin hal yang sama, tapi yang gue dapatkan justru kekesalan. Hingga gue mutusin menyerah dan nendang bagian belakang sofa sebelum bertolak menuju pantri.

"Nanti gue yang di sofa deh, Kak. Tapi lo tetap temenin gue sampe gue tidur ya," kata gue santai.

Tangan kak Radit yang hendak ngambil biskuit di piring berhenti seketika. Dia natap gue yang baru aja duduk di sebelahnya, lamaaaaa banget. Ekspresinya sulit gue deskripsikan, apalagi isi kepalanya sekarang. Yang jelas, gue bersiap pasang tameng andai dia tiba-tiba nyekek gue.

"Lebih baik aku yang digigit nyamuk daripada kamu yang harus tidur di luar, Mauli."

Ah, sial. Lagi-lagi dia bersikap soft kayak begini. Padahal gue kira kak Radit bakalan ngomong sesuatu yang menohok dan bikin gue kesel. Ini di luar dugaan dan hal itu jelas-jelas bikin pipi gue jadi memanas.

"Kenapa sih? Nyamuk doang mah kecil," sergah gue yang sebenarnya diam-diam sedang menepis kupu-kupu yang menggerayangi perut gue setelah mendengar kalimat kak Radit barusan.

Kak Radit menghela napas. Sangat berat seakan beban yang dipikulnya sewaktu-waktu mampu meruntuhkannya kapan saja. Tatapan dalamnya pun seolah menyiratkan sesuatu yang sulit gue terjemahkan ke bahasa manusia.

Dia membalas, "Mauli, ini bukan cuman masalah besar atau kecil. Kamu istri aku dan sudah semestinya diperlakukan dengan baik. Mama pernah bilang ke aku, laki-laki kalau sudah menikah artinya dia bukan hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tapi perempuan yang dia nikahi juga turut menjadi tanggung jawabnya."

Gue tertegun dengar itu, lalu kak Radit kembali bersua. "Aku sadar kalau pernikahan kita memang bukan karena cinta. Kita ada di posisi sama-sama terpaksa dan belum siap dengan pernikahan ini. Tapi bukan berarti aku gak mau menghargai kamu dan menjaga kamu sebagai istri aku. Bahkan seekor nyamuk pun gak boleh nyentuh kamu selagi masih ada aku yang bisa gantiin kamu."

Kalimat-kalimatnya mungkin klise dan sudah basi, tapi hanya dengan begitu saja gue berhasil luluh lantak di hadapannya tanpa bisa berkutik. Jantung gue berdebar hangat, sementara pipi gue gak tau udah semerah apa sekarang. Gue cuma bisa nunduk buat nyembunyiin salah tingkah.

"Kak."

"Hn."

"Ini bukan lo banget."

Kak Radit tersenyum lantas ngacak rambut gue tanpa ngomong apa pun.

Biasanya kak Radit gak kalah nyolot dan ngeselin buat gue pengen makan orang setiap kali bertengkar dengan dia. Dan hampir seminggu tinggal bersama, gue akhirnya menemukan sisi melankolisnya lagi. Bagian dirinya yang menjadi salah satu alasan mengapa gue di masa lalu bisa bucin setengah mampus pada orang ini.

Kalau ingat momen itu, gue bawaannya pengen ketawa sebenarnya. Pasalnya gue sering dijauhi teman-teman komplek hanya karena gak mau berbagi permen milkita yang dibelikan bokap pas pulang kerja. Biasalah bocah curut yang bertengkar gara-gara masalah sepele.

Di tengah hiruk piruk memakan permen milkita seorang diri, gue nangis sambil duduk di ayunan. Lalu datanglah kak Radit layaknya pangeran yang mau hibur tuan putri. Dia puk-puk puncak kepala gue sambil ngeluarin kata-kata puitis yang bahkan untuk mengerti maknanya apa, otak gue gak mampu.

Meski begitu, gue tetap menghargai usaha kak Radit yang mau nenangin gue. Lagipula, gue masih di fase-fase pertumbuhan waktu itu dan siapa yang gak baper kalau cowoknya itu ganteng???

Lalu sekarang kak Radit balik ke setelan awalnya. Mustahil hal itu gak memiliki efek apa-apa ke diri gue yang dulu jadi bocil pengagum rahasianya.

"Kak, sampai tiga hari yang lalu kita masih berdebat loh. Ada apa sebenarnya?" tanya gue heran, cemas, khawatir. "Dimarahin mama ya?"

Kak Radit ketawa kalem. Buat dia keliatan tambah ganteng. "Biar istri naksir aja," ujarnya tanpa dosa.

Gue spontan melotot. "Sumpah ya, lo gak banget," jawab gue yang keliatan ogah-ogahan padahal aslinya udah mau berserakan di sebelahnya.

"Terus harus gimana biar kamu naksir?" tanyanya lagi buat gue menatapnya horror.

"Ih, merinding lagi kan."

Translate : salting brutal.

"Mauli."

Gue yang tadinya sibuk nyembunyiin salting pun melirik.

"Nekan ego pas berdebat sama kamu itu gak mudah. Tapi karena kamu adalah istri aku sekarang, mengalah akan jadi makanan yang rela aku cicipi setiap hari."

Di sini, gue cuma bisa tertegun mandangin dia yang kembali larut bersama teh buatan gue. Makan biskuit dengan tenang, sementara hati gue sudah porak-poranda hanya karena dua kalimat yang baru saja dilontarkannya. Memangnya boleh sesantai itu setelah bikin hati anak orang amburadul?

Namun sebelum gue terlalu jauh, ada sesuatu yang mengganggu pikiran gue sejak kami resmi menikah.

Melihat gue yang diam aja, kak Radit memiringkan kepalanya. Masih natap gue lurus, menyipitkan mata. Kemudian tersenyum jenaka sambil berkata, "Diem aja nih? Apa udah naksir, Mauli?"

Tangan gue spontan nepuk paha kak Radit sebal buat dia ketawa lagi. "Lo tuh ya!" kata gue dengan pipi memanas. Membuang napas kasar dan melirik lagi setelah merasa siap. "Gue tuh lagi mikir sesuatu. Ada yang mau gue tanyain sama lo. Harusnya dari minggu lalu gue tanyain sih," tanya gue akhirnya, memerhatikan kak Radit yang mengambil gelas tehnya lagi dan menyesapnya tenang.

"Apa itu?" Kak Radit meletakkan gelas tehnya ke permukaan pantri. Bibirnya yang berbentuk buah peach itu mengukir senyuman yang indah. Untuk beberapa saat, gue termenung dibuatnya. Tidak diragukan lagi, dia memang tampan.

Sebelum bertanya, gue menyesap teh milik gue. Membasahi tenggorokan gue yang mendadak kering dalam satu tegukan. Bagaimanapun, pertanyaan yang hendak gue lontarkan adalah topik yang cukup sensitif untuk dibahas.

"Pacar lo udah tau?" tanya gue kemudian.

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang