Part 12 - Roller Coster
****
Emosi, gue nutup pintu taxi dengan kencang.
"Hati-hati, Neng. Kalau pintunya rusak saya yang kena marah," tegur supir taxi tersebut dan membuat gue mengatupkan tangan gak enak.
"Maaf, Om."
Untungnya bapak itu gak protes lagi dan langsung melaju pergi--meninggalkan gue yang masih kesal dengan kejadian di sekolah. Padahal gue udah senang tadi karena semuanya berjalan lancar, tapi kak Radit yang mendadak muncul jadi guru fisika gue yang baru akhirnya merusak ketenangan yang berusaha gue bangun.
Maksudnya apa coba?
Pokoknya tiba di apart nanti, gue mau gencatan senjata sampai dia resign dari sekolah. Harus.
Gue masih mendumel di sini. Kening gue mengerut dan bibir gue mengerucut saat langkah kaki gue memasuki area gedung apartemen tempat gue tinggal sekarang. Namun kedua kaki gue terhenti. Hari ini lobi terlihat ramai, beda banget pas kemarin gue baru datang. Sepi banget kayak kuburan. Anehnya lagi, keamanan yang super ketat itu tiba-tiba menghilang seolah ditelan bumi.
Gue liat ada beberapa orang dewasa dengan id card lagi sibuk motret seseorang yang menjadi pusat perhatian. Bahkan di barisan paling depan terlihat beberapa jurnalis yang sibuk ngetik sesuatu di laptop masing-masing. Gue menyipitkan mata agak ragu. Konferensi pers?
"Artis?" Gue cuma asal nebak, gak terlalu liat juga sebenarnya karena gue minus. Udah beberapa kali dipaksa mama buat ukur kacamata, tapi gue ogah. Pada dasarnya gue gak terlalu suka mencampuri urusan orang lain, jadi gue milih menghindar dan cepat-cepat menuju lift.
Tetapi sepertinya ini bakalan sedikit sulit. Melihat betapa ramai dan banyaknya orang di sini, gue pun harus bersusah payah untuk mencapai pintu berbahan logam yang ketutupan sama banyaknya orang.
"Permisi, saya mau lewat. Awas air panas, air panas."
Sayangnya racauan gue sama sekali gak diindahkan oleh orang-orang dengan ID card itu. Gue menghela napas, kini membiarkan tubuh gue keseret ke belakang lagi.
Gue mendecak malas lantas mutusin berjalan ke pojok. Sekarang mulai kepo dengan sosok yang masih dikerumuni wartawan itu. Kemudian gue ambil hp dari dalam tas untuk membuka kamera. Mengarahkannya ke sosok yang sedari tadi dikeliling massa itu.
"Eh, Renjun." Seketika gue membelalak gak percaya dengan apa yang gue liat di sana. "Dia Rendy Juanda yang itu, 'kan?" gumam gue yang masih berusaha fokusin penglihatan ke wajahnya untuk memastikan. Ya, gue yakin banget kalau dia Rendy Juanda karena ciri khas wajahnya yang kayak orang China itu.
Sedikit info. Rendy Juanda ini adalah salah satu konten creator dan influencer favorite gue. Dia selalu bikin vlog yang berhubungan dengan pendidikan di youtube dan katanya berhasil dapat beasiswa ke Korea bulan lalu. Dia itu terkenal banget di internet sampai-sampai para artis banyak yang ikutin dia di sosmed pribadinya.
Pokoknya Rendy Juanda itu panutan gue, soalnya dia pinter banget matematika. Sekali lagi gue tegasin. Gue bukan penggila orang jenius. Hanya sekedar takjub dengan keenceran otak para pakar matematika yang di atas rata-rata. Dan tentunya tampang cowok satu ini menjual banget buat gue yang penikmat cogan kelas kakap.
Untuk meyakinkan diri bahwa sosok yang ada di sana adalah orang yang gue maksud, akhirnya gue pun mendekati salah satu wartawan yang lagi asik minum coffe cup di dekat resepsionis.
"Maaf, Kak. Saya boleh tanya?" kata gue sesopan mungkin.
"Iya, tanya apa?"
"Yang di sana." Gue nunjuk ke arah cowok yang sudah masuk ke dalam lift itu. "Dia Renjun? Rendy Juanda yang lagi banyak dibincangin itu, 'kan?" kata gue penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Become Your Wife || Lee Taeyong
Ficção Adolescente____ "Dipaksa nikah gara-gara dituduh lakuin hal mesum sama nikah karena emang udah ngelakuin hal itu beda, Kak. Kita yang gak bersalah ini bakal dicap jelek di masyarakat. Masa depan gue ataupun karir lo bisa hancur dalam sehari." Mungkin dipaksa m...