11. Genggaman

27.5K 1.7K 206
                                    

Semakin dewasa, semakin tidak mengerti definisi rumah itu apa.

Priceless

★★★

“Baru pulang?” Mama meletakkan sup iga kesukaan Sheryl di atas meja, lalu menatap Bellissa sepenuhnya. “Sheryl udah pulang dari tadi. Kamu keluyuran kemana dulu?”

“Aku ada urusan,” sahut Bellissa.

Bibir Bellissa yang sedari tadi tersenyum dan berseri, setelah membuka pintu dan masuk ke dalam rumah langsung berubah datar tanpa ekspresi.

Semakin bertambah usia, Bellissa semakin tidak mengerti definisi rumah itu apa.

Dulu, saat masih kecil, menurutnya rumah adalah tempat ternyaman dan teraman. Padahal dulu rumahnya tidak sebesar dan semewah sekarang. Tapi Bellissa selalu bersemangat untuk pulang, setelah sekolah ataupun bermain seharian.

Bellissa akan menemukan Papa dan Mama, lalu menceritakan aktivitasnya yang menyenangkan atau kadang melelahkan.

Namun sekarang, rumah megah dan kokoh yang Bellissa tinggali hanya sekadar melindunginya dari panas dan hujan. Bellissa tidak merasa aman padahal Bellissa tahu, dia tidak punya musuh yang mengancam. Begitu juga dengan rasa nyaman yang tidak lagi dirasakan.

Ada Mama, Sheryl, Om Satya dan beberapa pekerja rumah lainnya, tapi Bellissa merasa ... sendirian.

Kesepian ditengah banyak orang.

“Jangan ngelakuin sesuatu yang nggak jelas, Sa. Apalagi yang nggak-nggak, jangan macem-macem. Inget, kamu anak perempuan,”

“Memangnya apa yang aku lakukan?”

Tadinya, Bellissa akan menghampiri Mama dan mencium punggung tangannya. Tapi, mendengar ceramah Mama yang langsung merusak moodnya, tanpa memikirkan kesopanan Bellissa memilih langsung pergi ke kamarnya.

“Kamu punya ponsel, lupa gunanya ponsel itu buat apa? Kalo mau pulang telat, kabarin Mama. Lihat Sherly—” ingin rasanya Bellissa menutup telinga saat Mama mulai membandingkannya dengan Sheryl. “Dia nggak pernah bikin Mama  khawatir. Sheryl selalu bilang kemanapun dia mau pergi dan pulang tepat waktu seperti yang dia bilang,”

“Aku nggak pegang ponsel.” ujar Bellissa malas sembari berlalu begitu saja meninggalkan Mama.

“Mama belum selesai ngomong, Bellissa!” teriak Mama saat kaki Bellissa mulai menginjak anak tangga.

Bellissa tetap melanjutkan langkahnya. Namun, tepat di penghujung anak tangga terakhir yang akan di pijaknya, Bellissa harus sedikit membuang tenaga untuk menghadapi Sheryl yang menghadangnya dengan berdiri berlipat tangan di depan dada.

“Gue tadi ketemu Redo, dia bilang nggak jalan sama lo. Redo bilang lo nolak dia, jadi sebenernya lo kemana?”

“Bukan urusan lo!”

Bellissa melangkah ke ruang kosong untuk melanjutkan langkahnya, tapi Sheryl ikut melangkah ke samping menghalanginya.

Helaan napas berat keluar dari hidung Bellissa. Sheryl memang hobi menguras kesabarannya.

“Gue ke kunci di perpus, nggak bisa minta tolong atau ngabarin siapapun karena ponsel gue ... di pinjem lo.” Bellissa tersenyum tipis sesaat sebelum menabrak tubuh saudara tirinya itu.

“Lo—” Sheryl mengusap bahunya sembari berbalik menatap punggung Bellissa. “Makin hari makin ngelunjak, tau nggak?”

“Tolong bilang sama Mama kalo gue udah makan.” ucap Bellissa tanpa berbalik badan.

PRICELESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang