Bellissa melepas jaket Arrion yang dipakainya, lalu di gunakan untuk menutupi pahanya yang terekspos. Rok sekolahnya sedikit tertarik keatas karena Bellissa duduk di bangku taman.
Selain menikmati es krimnya, Bellissa juga menikmati suasana yang cukup ramai. Ekspresi orang-orang yang terlihat santai dan senang, sahutan yang terdengar samar dan gelak tawa dari beberapa orang menghidupkan suasana hangat dan turut serta membuat Bellissa ikut bahagia melihatnya.
Disampingnya Arrion juga terlihat santai sembari menikmati kopinya.
Bellissa tersenyum dan melambaikan tangan pada seorang balita yang melihat kearahnya. Yang cukup jauh dari posisinya. Karena dia dan Arrion memilih tempat yang tidak terlalu ramai ditempati orang.
“Liat Ar, lucu.” Bellissa berucap gemas.
Menawarkan eskrim ditangannya dengan gerakan lalu sengaja menggoda, menjilatnya dengan ekspresi yang dibuat berlebihan. Dan berakhir tertawa saat balita lucu dalam gendongan ibunya itu memutus pandangan, berbalik ke arah lain.
“Nanti kalo udah nikah kamu pengen punya anak berapa?” ucap Bellissa, hanya iseng bertanya. Menoleh menatap Arrion yang sedang menyedot kopi dingin dari cup plastik yang dipegangnya.
“Nggak satupun, mungkin?” jawab Arrion terdengar ragu.
“Nggak pengen punya anak maksudnya?” tanya Bellissa memperjelas.
“Hm.”
“Kenapa?”
“Nggak ... pengen aja.”
Bellissa mengangguk-anggukkan kepala, menghargai pemikiran Arrion yang pasti ada sebabnya, sembari kembali menjilat es krimnya. Lalu, tidak ingin membahas topik yang lebih pantas dibahas oleh orang dewasa itu lebih jauh lagi. Terdengar geli. Karena mereka ya ... hanya sepasang remaja yang masih duduk di kelas dua SMA. Yang terkadang masih labil dalam memutuskan sesuatu yang akan diambil untuk kedepannya. Pengalaman-pengalaman baru yang nanti mereka lewati, bisa menjadi pembelajaran lalu mungkin bisa mengubah cara mereka berpikir.
Bellissa juga ... mendadak bingung dan merasa bersalah melihat Arrion yang sekarang menampilkan raut wajah datar. Namun, sedikit terbaca ada kesedihan dari pancaran matanya.
Sebelum akhirnya, Bellissa merasakan jemarinya digenggam. Kemudian helaan napas berat terdengar. “Dunia mengerikan dan nggak adil untuk sebagian orang.” ucap Arrion.
Bellissa mendongak lagi menatap Arrion. Cowok itu tersenyum tipis melihat sepasang orang tua yang tengah mengajari bayi dibawah tiga tahunnya berjalan. Sang ibu setia menjaganya dari samping sementara sang ayah mengabadikan momen itu dengan merekamnya menggunakan kamera ponsel. Mereka terlihat bahagia.
Apa dia juga pernah seperti itu dulu?
“Menghadirkan seseorang lalu membuatnya berdosa dan merasakan kesialan. Aku nggak pernah mengharapkan hal seperti itu.”
Dari cara Arrion menelan ludah terlihat ada kesedihan mendalam yang cowok itu pendam. Dan Bellissa hanya diam, hanya jemarinya yang menguatkan genggaman.
“Aku takut nggak bisa bertanggung jawab sama memberi kehidupan yang layak. Takut nggak bisa jadi orang tua yang diharapkan,” ucapnya masih sembari memperhatikan keluarga kecil yang terlihat bahagia didepan matanya.
“Takut nggak bisa memberi kasih sayang yang anak aku—” Arrion tersenyum tipis, geli. Mendengar bahasa yang diucapkannya sendiri. “Takut nggak bisa memberi kasih sayang yang dia mau, lalu dia merasa sendirian.” ralat nya.
Sadar perjalanannya masih panjang, namun sampai kapanpun Arrion yakin akan selalu berpikir seperti ini.
“Takut dia nggak bahagia kemudian puncaknya, dia berada di titik dimana bertanya ... ‘untuk apa dia dilahirkan’.”
KAMU SEDANG MEMBACA
PRICELESS
Teen Fiction⚠️17+ Arrion artinya mempesona. Kedatanganya sebagai siswa baru pernah menggemparkan sekolah pada masanya. Nyaris semua cewek disekolah menyukai dan terpikat pesonanya. Sebagian, bahkan terang-terangan mengejar, memberi dan menarik perhatian cowok i...