25 : Topeng

2K 257 20
                                    

Setelah melewati perjalanan yang cukup membuatnya menguap bosan, Elena sampai di kediaman. Matanya memicing, memandang bangunan megah yang berdiri di depannya itu. Bukan karena ada yang menarik disana, melainkan, pikirannya terasa menggumpal hingga menyumbat saluran syarafnya.

Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Di sisi lain Elena ingin segera mengakhirinya dengan menghilang ke ujung dunia. Namun di sisi lain, pertanyaan yang belum menemukan jawaban, potongan memori yang berputar dengan samar, lalu fakta-fakta yang menggerogoti tubuhnya, semua itu tidak bisa ia abaikan.

Setiap kali Elena mencoba untuk masuk lebih jauh, makin parah pula sakit kepala yang menyerang secara mendadak. Itu semua mengganggunya.

"Sialan! Semua ini tidak pernah terjadi saat aku masih menjadi Adriana?" gumamnya.

Begitu menutup mulut, instingnya spontan bereaksi dengan kehadiran seseorang di hadapannya. Elena menengadah dan pandangan keduanya pun bertemu.

"Kamu darimana?" tanya Akse dengan muka datar.

Seketika suasana hati Elena berubah buruk. Layaknya awan mendung yang berubah menjadi hitam pekat dengan ratusan sambaran petir. Matanya secara otomatis menatap tajam dan secara terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya.

"Cih. Itu bukan urusanmu." ia menjawab seadanya--tanpa berbasa-basi--sambil melewati Akse dengan serampangan.

"Tunggu, Elena!"

"Apalagi?"

"Besok pagi kita akan kembali ke Phesenia, tempat kediaman Yang Mulia Duke. Bersiaplah!"

"Apa?"

"Ini undangan terakhir di wilayah timur. Setelah ini, kita akan kembali ke ibukota. Aku tidak bisa menolak undangan langsung dari Yang Mulia Duke. Jadi kuharap kamu mengerti. Cukup satu kali lagi dan kita pulang." tanpa berkata apa-apa lagi, ataupun menunggu jawaban dari Elena, Akse langsung berjalan pergi.  Meninggalkan wanita itu yang tengah mematung.

"Ha!!! Apa yang dikatakannya itu?!" kata Elena menahan emosi.

Ia merasa sedang diperintah oleh Akse. Sangat jelas dari kata-katanya, pria itu tak peduli dengan responnya. Entah Elena menerima atau menolaknya? Yang pasti dia tidak menerima segala penolakan apapun alasannya.

"Dasar! Selalu seenak jidat."

"Maaf... Nyonya..."

"Apa?!" jawaban singkat itu berhasil membuat pelayan tersentak kaget. Belum dengan tatapan dari Elena yang terlihat murka.

"Maaf, kami juga baru diberitahu hari ini. Jadi kami tidak tahu apa-apa sebelum Yang Mulia mengatakannya."
dari suaranya, ia bisa tahu, pelayan itu tengah gemetaran. Tapi apa pedulinya?

"Ck! Kapan orang itu mengirim undangan? Bagaimana bisa tidak ada yang tahu?"

"Ya-yang Mulia Duke memang tidak mengirim undangan. Tapi beliau mengatakannya langsung pada Yang Mulia Grand Duke."

"Sialan. Belum cukup dengan hal memuakkan yang terus terjadi. Sekarang aku harus bertemu dan bertegur sapa dengan orang yang menggantikan posisiku?! Padahal aku sudah berusaha menghindarinya saat acara penobatan kemarin. Tapi sekarang, kami akan bertemu secara pribadi. Haaahhh... Lucu sekali."

Sangat terlihat Elena sedang tidak baik-baik saja saat itu. Hal-hal--yang ia anggap--menyebalkan terus terjadi secara berurutan dan menekan jiwa, membuat suasana hatinya makin memburuk. Raut wajahnya begitu berantakan, bahkan terlihat sangat mengerikan di mata para pelayan.

Bagai bertemu dengan malaikat pencabut nyawa, begitulah yang mereka pikirkan.

🖤🖤🖤

Circle of VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang