Pagi hari yang segar. Hanya sedikit awan yang terlihat, membuat cahaya matahari yang belum sepenuhnya bersinar terasa redup. Saat itu belum menjadi awal rutinitas yang terjadi di mansion Grand Duke. Namun di pagi-pagi buta, Andreas sudah berada di kamar Elena dengan membawa secangkir teh dan roti gandum. Elena tak memintanya, dia sendiri yang berinisiatif membawakannya. Dengan harapan, Elena dapat luluh.
Andreas berdiri di dekat sofa--tempat Elena duduk memandangi apa yang ia bawa. Terlihat dari raut wajahnya, ia begitu resah gelisah. Dalam beberapa hari ini banyak hal yang terjadi, hingga ia merasa belum bisa bernapas lega. Dan dari semua itu, yang terparah adalah hari ini. Ia harus menghadapi kakaknya--yang mungkin--akan mengeluarkan aura khas Dewi Kematian.
Sudah berapa lama ya, sejak terakhir kali aku melihat kakak begitu? Batin Andreas sibuk dengan imajinasinya sendiri.
Sejak ia masuk hingga sekarang ini--kecuali saat mempersilahkannya masuk, Elena hanya diam dengan wajah datar. Elena sempat menyentuh teh itu dan meminumnya seteguk, kemudian ia kembali menaruhnya tanpa berkata apa-apa.
Sulit sekali membaca apa yang dipikirkan kakak kalau ekspresinya sudah begitu. Bagaimana ini?
Andreas terus bergelud dengan pikiran-pikirannya sendiri. Sampai tak sadar, keringat bercucuran dari atas kepalanya.
"Jadi?"
Seketika pria itu terlonjak kaget. Hanya satu kata, wajahnya masih tanpa ekspresi, Elena pun hanya menoleh, tapi hal itu berhasil membuat jantung Andreas terasa mau copot.
"Y-Y-YA?!"
"Apa ini semacam sogokan?" tanyanya sambil menunjuk malas ke arah teh dan roti itu.
"So-sogokan? Apa yang... Kakak maksud?"
"Lalu? Kenapa tiba-tiba kau muncul membawa cemilan pagi-pagi buta begini? Sudah begitu kau sendiri yang membawanya?"
"Ah... A-aku hanya khawatir kakak melewatkan sarapan."
"Masih terlalu cepat untukmu khawatir."
"A-ah... Itu... Sebenarnya... Aku cuma mau... Bi-bicara." ucapnya tergagap-gagap. Bingung harus berdalih seperti apa di situasi seperti sekarang.
"Katakan saja."
Jawaban kilat Elena malah makin membuatnya tertekan. Pikirannya menjadi buntu, ia bahkan hampir lupa dengan tujuannya datang saat itu. Setelah mengatur napas beberapa kali hingga meneguk ludah sendiri, ia pun memantapkan hati dan mencoba bicara sejujurnya.
"Apa kakak marah?" tanyanya ragu. Ia hanya melirik. Walaupun takut menatap Elena, ia tetap penasaran dengan respon wanita itu.
Elena masih diam, pun ekspresinya juga belum berubah. Namun beberapa detik kemudian, raut wajah datarnya luntur. Ia membuang muka, tak ingin menatap Andreas.
"Apa... Dia mengancammu?" tanyanya dengan raut muka khawatir.
Respon Elena tentu membuatnya terkejut. Saat ini, respon itu tidak ada dalam daftar imajinasi liarnya. Jadi wajar, Andreas kebingungan menjawabnya.
"Dia? Apa maksud kakak, Yang Mulia Grand Duke?"
"Bedebah itu pasti mengancammu. Apa yang dia katakan? Apa dia menawarkan sebuah perjanjian yang membuatmu tidak bisa menolaknya?"
Andreas hanya diam, tercekat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Entah kenapa saat itu, ia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun?
"Katakan saja apa ancamannya? Apa dia akan membongkar identitasku di depan publik? Atau bahkan berniat mengeksekusiku? Katakanlah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Circle of Villainess
FantasyAdriana Kalevi adalah Duchess yang disegani di kekaisaran Nathanael. Sifatnya yang dingin, bengis, dan tertutup menjadikannya salah satu orang yang paling ditakuti dengan julukan 'Dewi Kematian' di usianya yang masih muda. Meskipun dihormati rakyat...