33 : Dilema

1.9K 224 18
                                    

Uuuugghhhhh...

Sudah kesekian kalinya sejak pagi tadi, Elena merintih kesakitan. Dini hari setelah bersitegang dengan Akse, ia hanya bermaksud merebahkan tubuhnya dan tidur sampai fajar tiba. Namun saat terbangun, bukan tubuh rileks yang ia dapatkan. Melainkan tubuh lemas seperti energi telah disedot habis dan nyeri di beberapa titik. Parahnya lagi, ia bahkan tidak bisa duduk dengan benar. Alhasil yang ia lakukan hanya meringkuk di kasur dengan kantung kompres di bagian lekukan tulang belakangnya.

"Tubuh lemah sialan. Aku sampai tidak bisa bergerak." ocehnya.

"Nyeri otot?"

Elena tersentak. Bola matanya hanya melirik sekilas. Tanpa menoleh pun, ia sudah tahu siapa pemilik suara yang tiba-tiba muncul itu. Elena hanya mendengus jengkel.

Akse yang sebelumnya bersandar di bibir pintu, kemudian berjalan mendekat. "Sepertinya kemarin kau terlalu banyak menggunakan tubuh itu."

"Enyahlah. Aku tidak mau berdebat denganmu."

"Lebih tepatnya kau tidak punya tenaga."

"Berisik."

"Padahal ini tidak terjadi saat penyerangan Distrik Stevonia. Sepertinya penyerangan kemarin benar-benar membuatmu kewalahan."

"Kewalahan? Bagiku kemarin itu bukan apa-apa. Tubuh istrimu saja yang lemah."

Cih, dia tahu. Batinnya menggerutu.

"Ck! Apa dia tidak pernah melakukan peregangan? Ototnya sampai kaku begini. Menyebalkan."

"Meskipun dia bukan bangsawan seutuhnya. Sikap dan sopan santunnya lebih baik jika dibandingkan dengan bangsawan murni."

"Tanpa kau beritahu pun, aku sudah tahu itu bahkan dari gaunnya yang merepotkan."

"Walaupun begitu, kau tetap memakainya untuk mengelabui orang-orang. Aku baru tahu kalau bakat aktingmu luar biasa sekali."

"Kau mengejekku? Bukan karena aktingku. Kau saja yang bego."

Wajah Akse berkerut begitu mendengar kalimat yang selalu membuatnya jengkel itu, ia dengar kembali setelah sekian lama. "Walaupun sudah merasakan kematian, mulutmu itu masih tajam, ya?"

"Kematian? Keadaanku jadi begini karena kau yang tidak becus membunuhku. Apa ini bisa disebut kematian? Bahkan ini lebih buruk dari kematian, tahu?!"

"Kenapa ini jadi salahku? Tahu tidak? Kau itu selalu menyalahkanku saat semuanya tidak berjalan sesuai kemauanmu."

"Bagaimana aku tidak menyalahkanmu?! Semua ini tidak akan terjadi kalau bukan kau yang membunuhku!"

Deg.

Mendadak Akse merasa ada sesuatu yang menembus pertahanannya. Rasa sakit yang hampir sama ketika ditusuk belati. Tetapi rasanya, lebih menyakitkan. Wajahnya lagi-lagi berkerut seperti sedang menahan rasa sakit. Lalu kembali mengendur saat kalimat Elena menarik perhatiannya.

"Daripada itu, sekarang kau jadi lebih waspada, ya? Kau takut aku membuat masalah?"

"Ha? Apa maksudmu? Apa itu artinya kau mengingkari perjanjian kita semalam?"

"Asal kau tidak mengusik Andreas, aku tidak akan melakukan apapun. Tapi sepertinya kau tidak mempercayaiku sepenuhnya. Buktinya kau menyuruh seseorang untuk memata-mataiku."

"Memata-matai? Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Kau mau berkilah? Memangnya darimana lagi kau tahu ototku nyeri?"

Akse menghela napas lelah. "Sudah kubilangkan, aku akan membiarkan kalian asalkan tidak menyentuh Carl. Aku mungkin bersikap waspada, tapi aku tidak akan melakukan hal sia-sia seperti itu. Seperti kataku, kalian hanyalah tikus dalam perangkap. Tanpa menyuruh seseorang pun, orang-orang sudah mengawasi kalian. Terutama kau yang merupakan nyonya rumah."

Circle of VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang