Malam itu, suara tangisan bayi terdengar nyaring, namun fisiknya tak terlihat dimanapun. Hingga sebuah siluet bayangan manusia mendekati tumpukan kotak di bawah pohon peach.
Suaranya makin jelas ketika dia berjalan ke sisi kanan tumpukan. Satu kotak yang masih utuh menyita perhatiannya. Segera dia membukanya, dan benar saja, seorang bayi menangis kedinginan.
Tak tega melihatnya, wanita tua itu memutuskan untuk membawanya di gubuk reot-nya.Tidak ada susu atau bubur untuk sang bayi. Bayi itu terus menangis sepanjang malam. Wanita tua kebingungan. Setelah cukup lama mencari-cari sesuatu yang dapat dimakan seorang bayi, ia hanya menemukan seteko air. Tanpa berpikir panjang lagi, ia mengambil sendok kecil, lalu menyuapi bayi itu dengan air.
Tangisan bayi makin melirih. Wanita tua yakin, bayi itu sedang kehausan. Bahkan tanpa diberi susu pun, sang bayi tetap meneguk air yang diberikannya. Kemudian--masih di tempat duduknya--ia meraih sesuatu yang dibungkus daun. Sepotong roti yang tinggal setengahnya itu pun juga ia berikan pada sang bayi. Ia menyuapinya perlahan agar bayi itu tidak tersedak.
Sejak saat itu, wanita tua memutuskan untuk merawat bayi malang yang terlantar itu di tengah kekurangannya. Dia hanyalah seorang wanita tua, tinggal di gubuk reot sendirian, menyambung hidup dengan meminta-minta sembari merawat kebun kecilnya. Walaupun begitu dalam pikirannya, ia masih lah beruntung daripada seorang bayi yang belum bisa mencari makan bahkan bergerak sendiri.
Yang mengagumkan adalah, di tengah keterbatasannya, ia mampu membesarkan bayi yang di temukannya 3 tahun yang lalu itu.
"Zezil... Tolong bantu nenek..."
"Arsel... Jangan lupa panen tomatnya..."
"Apa kau bisa membawakan ini, Vercio?"
Wanita itu memanggilnya dengan nama yang berbeda-beda setiap hari. Bahkan saat mengenalkannya pada orang lain, ia akan menyebutkan nama yang berbeda esok harinya.
"Sebenarnya siapa sih namanya?"
"Kemarin Alex, sekarang Rei. Apa ini semacam lelucon?"
"Seharusnya kau memilih satu nama saja. Walaupun dia memanggilmu dengan banyak nama, tapi kau harus menentukan satu namamu. Bodoh itu juga ada batasnya."
Begitulah kata-kata yang sering dijumpainya saat keluar dari gubuk. Walaupun ia memahami ucapan mereka. Tapi ia tetap tidak bisa berbuat apa-apa.
Lalu, sekuat-kuatnya wanita itu bertahan, ia tetaplah seorang wanita tua. Ia jatuh sakit secara tiba-tiba. Anak kecil itu hanya bisa kebingungan. Dia ingin membawa wanita tua ke dokter, namun ia urungkan karena sadar dengan keadaan diri sendiri.
"Leon... Harus terus berusaha... Untuk tetap... Hidup..."
"Ne... Nek." air mata anak itu tak bisa ditahan lagi dan pada akhirnya keluar juga.
"Kau... Pasti... Akan mendapat..." wanita itu tersengal. Dia makin kesulitan bernapas. Namun berusaha melanjutkan. "Keluarga... Di... Masa... De... Pan..."
Itulah yang dikatakannya sebelum menghembuskan napas terakhir. Melihat wanita tua--yang ia panggil nenek itu--terbujur kaku, tangis anak itu pun pecah. Ia memeluk tubuh kurus dan dingin itu untuk yang terakhir kali.
Dengan berbekal keahlian menggali tanah saat berkebun, anak itu pun mengubur jasad neneknya agar tertutup tanah dengan sempurna dan ia pun berhasil melakukannya, walaupun membutuhkan waktu berjam-jam.
Ia selalu diajarkan untuk patuh, jangan membatah perkataan orang lain, semua itu sudah melekat di kepalanya. Anak itu pun mematuhi wasiat terakhir nenek agar tetap hidup, meskipun tak tahu caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Circle of Villainess
FantasiAdriana Kalevi adalah Duchess yang disegani di kekaisaran Nathanael. Sifatnya yang dingin, bengis, dan tertutup menjadikannya salah satu orang yang paling ditakuti dengan julukan 'Dewi Kematian' di usianya yang masih muda. Meskipun dihormati rakyat...