44 : Strategi Bersaudara

189 24 5
                                    

"KAU ADU PEDANG DENGAN NYONYA?!!!!" pekik Rochell berekspresi ngeri.

Sedangkan Akse yang baru saja selesai mandi, duduk manis membaca berkas di tangannya, sembari sesekali menyeruput teh chamomile-yang dibawakan Rochell.

"Iya."

"APA-... TIDAK. BA-BAGAIMANA BISA?"

"Aku cuma mau memberi contoh untuk Carl yang sedang belajar pedang." jawabnya santai.

"Kalau memberi contoh, tidak mungkin Casta berteriak heboh seperti itu! Kau tahu? Itu pertama kalinya dia berteriak sampai terdengar hingga depan mansion. Aku yang ada di depan pintu saja sampai terkejut. Kupikir itu raungan monster."

"Aku memang terkejut dia berteriak. Tapi apa teriakannya sekeras itu? Sepertinya itu mustahil." ucapnya sambil mengingat-ingat Casta yang selalu ramah dan kalem saat ia bertemu dengannya.

"Coba kau di posisiku tadi." Akse pun tak membalas ucapan Rochell dan kembali pada berkasnya. Rochell menghela napas lelah. "Berapa lama kalian seperti itu?"

"Entahlah, mungkin 1 jam lebih."

"1 JAM?! KALIAN BERTARUNG SELAMA 1 JAM??!!!"

"Kau ini ada-ada saja. Itu namanya sparing."

"Sparing itu menggunakan pedang kayu. Kau pikir aku bodoh? Jangan lupa ayahku mantan Komandan Kesatria." sahut Rochell tak terima dibodoh-bodohi.

"Iya, iya, terserah."

"Huh... Kasihan sekali tuan muda." gumamnya dengan raut muka yang gelap. Ngeri. Sedangkan Akse yang melihat sikap Rochell yang-menurutnya-berlebihan hanya diam menatap. "Beliau masih kecil tapi harus menyaksikan hal yang mengerikan. Masa di depan tuan muda...-" ucapan Rochell terputus saat tiba-tiba ia mengingat sesuatu yang penting namun terlupakan. Akse mengernyit heran melihat Rochell yang tiba-tiba terdiam.

"Akse Lazaro."

"Apa?" keringat dingin Akse keluar begitu saja saat Rochell memanggil nama lengkapnya sembari terdiam mematung.

"Apa kau masih tidak mau mengatakannya padaku?" tanya Rochell dengan raut muka serius.

🖤🖤🖤

"Apa kakak akan bekerja sama dengan b*j*ng*n itu?" tanya Andreas tiba-tiba dengan raut muka marah.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana jalan pikiran kakak. Kakak seperti membenci Grand Duke, tapi sesekali, kakak terlihat tidak melihatnya sebagai musuh. Sebenarnya bagaimana kakak memandangnya sekarang?" celoteh Andreas setengah geram.

"Kau berlebihan. Aku cuma mau olahraga sedikit."

"Ya, olahraga yang membuat kita terjun ke jurang kematian."

Lalu Elena pun terdiam memandang wajah Andreas yang memerah karena menahan amarah. Ia tahu betapa kesalnya pria itu menghadapi orang yang plin-plan seperti dirinya.

Memang benar kata Andreas, akhir-akhir ini dirinya tidak melihat Akse sebagai musuhnya seperti dulu. Namun bukan berarti perasaan benci itu menghilang begitu saja. Ia hanya bingung dengan situasinya. Awalnya ia menganggap kehidupan ini adalah kesempatan baginya untuk balas dendam. Lalu muncul sesuatu yang tidak terduga, kalau dirinya memiliki anak kandung dengan Akse Lazaro. Kalau ia berada di dirinya di masa lalu, tentu saja hal itu adalah sebuah kutukan tanpa penangkal. Akan tetapi, beda situasi beda cerita. Seperti situasinya saat ini.

Sejujurnya di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat bersyukur karena memiliki keturunan sebelum mati. Ia merasa sangat berterima kasih, namun juga merasa terhina. Sungguh situasi yang menjengkelkan baginya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Circle of VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang