[ 05 ] Dilema

52 6 11
                                    

Part 05 - Dilema

****


Gue harap semua hal yang menimpa gue hari ini hanyalah mimpi buruk sehingga di saat gue bangun, semuanya kembali seperti sedia kala. Namun nyatanya, itu hanyalah angan-angan buta gue yang pengen menutup fakta.

Sebuah fakta bahwa gue baru aja dipaksa berubah status jadi istrinya seseorang karena dituduh lakuin hal mesum!

Gila banget.

Sekarang gue udah siuman. Yah, syukurlah karena pas buka mata, gue udah berada di kamar gue yang nyaman. Terrbaring di kasur empuk gue dan enggak perlu lagi liat wajah-wajah memuakkan orang-orang yang fitnah gue itu. Rasanya gue baru aja dikurung dalam sebuah sangkar yang penuh bara api selama ribuan tahun.

Mata gue mengerjap. Kepala gue agak pusing dan hidung gue lagi-lagi menangkap aroma minyak kayu putih. Gue menghela napas dalam, menyadari bahwa hari ini sudah dua kali selamat dari maut. Orang pertama yang gue liat di samping kiri gue adalah mama. Gue tersenyum sendu. Kira-kira sudah berapa lama gue pingsan sampai mama ketiduran di sini?

Mata gue menilik sisi kanan kamar, pada dinding yang memajang sebuah jam. Pukul delapan malam. Hari ini benar-benar merupakan hari yang sangat panjang dan berat dalam hidup gue. Lalu tanpa sadar, air mata gue jatuh lagi. Isakan tangis gue hampir pecah, tetapi sekuat tenaga gue redam agar mama enggak terbangun.

"Eh, udah bangun, Sayang?" Sayangnya usaha gue enggak berhasil. Mama yang tidur sambil duduk dan meletakkan kepala di atas tangannya yang terlipat pun langsung bangun saat menyadari suara gue.

Cepat-cepat gue menghapus air mata dan tersenyum canggung. "Iya, Ma."

"Minum dulu, Sayang." Mama kemudian ngasih air mineral yang ada di nakas, juga nyodorin roti selai nanas kesukaan gue begitu selesai bantu gue untuk duduk. Di sela-sela gue memakani roti, mama nyiapin obat yang gue yakini diresepkan oleh dokter beberapa saat sebelum gue sadar.

"Tadi kenapa enggak makan dulu? Kata Aditya, kalian dikasih roti pas dibawa sama orang-orang itu ke mushola, tapi kamu malah enggak mau makan. Kamu tuh emang suka cari penyakit ya, Kanara."

Gue diem aja denger mama mulai ngomel, lagipula itu demi kebaikan gue.

Mungkin gue juga harus sedikit bersyukur karena maag gue belum parah-parah amat sampe harus diopname ke rumah sakit. Bahkan dari ingatan gue, ini pertama kalinya gue kena maag sampai pingsan. Sepertinya dipicu faktor stress? Mengingat sebelumnya gue mendapat pengalaman yang paling gak bisa gue lupakan.

"Ma, mereka fitnah aku. Bayangin seberapa stressnya aku di sana, bahkan untuk dengar suara mereka aja aku gak sudi."

Walau marah, itu juga enggak membenarkan perbuatan sembrono gue sebenarnya. Tetap aja, yang namanya penyakit kalau dibiarin terus akan tambah memburuk dan akhirnya komplikasi. Makanya mama selalu kasih wejangan agar gue jangan telat makan biar maag gue enggak menuju akut. Lagian gue makan tepat waktu terus kok, kecuali hari ini.

Mama enggak berkomentar lebih jauh, mungkin udah enggak tau harus ngomong apa buat tanggapin kalimat gue. Dia ngasih gue obat, nyuruh gue minum dengan segera dan gue terima tanpa banyak alasan.

"Papa mana, Ma?" tanya gue setelah minum obat tersebut.

"Di luar sama yang lainnya."

Kata lainnya buat gue jadi tersadar. Pasti maksudnya kak Radit dan keluarga, 'kan?

Jangan khawatir, tante dan keluarga pun tidak akan mengumbar tentang pernikahan ini. Setelah pulang ke rumah nanti, kami semua akan serahin keputusan akhirnya ke kamu dan Aditya.

Kalimat tante Laras waktu itu kembali terngiang, buat gue menunduk dan merasa dilema lagi.

Mengingat dua keluarga ini udah lengket banget kayak perangko sejak bertetangga. Walaupun beda blok, tapi rumah kita berhadapan. Mama yang memang work from home pun jadi punya temen ngobrol pas gue dan papa enggak di rumah.

Gue enggak bisa bayangin bakal secanggung apa dua keluarga ini kalau gue memilih egois dan enggak lanjutin pernikahan yang dibangun atas dasar tuduhan palsu ini. Sementara kalau gue milih tetap melanjutkan, apa semuanya akan berjalan baik-baik aja? Kemungkinan informasi ini bocor dan sampai ke pihak sekolah pun bisa aja terjadi, lalu setelah itu? Gue bakal dikeluarin detik itu juga.

Hahaha, rasanya gue mau mati.

"Udah, kamu jangan mikir macem-macem dulu," kata mama yang berusaha nenangin gue yang melamun. "Hal pertama yang harus kamu pikirin itu adalah kesehatan kamu. Nanti kalau putrinya mama udah merasa baikan, juga keadaan udah lebih tenang, baru kita bicarain kembali masalah yang tadi. Ngerti?"

Gue ngangguk. Walau di sini gue masih pusing banget mikirin jalan keluar dari masalah gue sekarang.

Mama bantu gue baring lagi, lalu narik selimut hingga ke batas leher. Kemudian dia ngusap kepala gue dan mencium kening gue cukup lama.

"Mama."

Mama yang mau beranjak dari kursi pun noleh ke gue lagi. "Iya, Sayang?"

"Apa yang harus aku lakuin?" Gue ngomong sambil naikin selimut hingga ke bawah mata karena mata gue memanas lagi. "Aku gak tau langkah apa yang paling tepat. Aku khawatir kalau keputusan aku malah bikin semua orang jadi sedih."

Gue takut, takut kalau pilihan gue malah bikin mereka bersedih. Bukan hal yang mustahil kalau tante Laras diam-diam bakal kecewa. Begitu pula mama yang gue liat beberapa kali mengalihkan pandangan dan hapus air matanya dan menguatkan diri. Karena sejak awal, menjodohkan kami saat usia gue menginjak kepala dua adalah impian mereka.

"Itu keputusan kamu, Sayang," jawab mama tersenyum tipis sambil mengusap kepala gue pelan. "Kali ini, mama enggak akan ikut campur atau maksa kamu. Untuk saat ini, pikirin diri kamu sendiri karena kamu yang bakal jalanin bukan kami. Mama gak tau apa aja yang udah kamu alamin sebelum kami sampai di tempat itu tadi. Kamu udah melalui hal berat itu, kalian berdua. Jadi mama enggak akan maksain ego mama agar kamu tetap mau melanjutkan pernikahan ini. Mama gak tega, Sayang."

Gue masih diam dan mama masih melanjutkan kalimatnya. "Mama minta maaf ya, Sayang kalau kamu merasa dilema. Ini semua salah mama. Andai tiket seminar itu enggak mama berikan ke kamu, hal ini enggak akan terjadi ke kamu. Maafkan mama." Di akhir kalimatnya, gue bisa liat mama mengusap ujung matanya yang mengeluarkan butiran air asin. Mama menangis. Menyadari hal itu, gue segera bangun dan memeluk mama.

"Mama gak salah apa-apa. Kanara emang lagi apes aja hari ini," ucap gue yang sebenarnya pengen nangis. Namun kalau gue menangis lagi, lantas mama akan tambah menyalahkan diri. Oleh karena itu, gue mencoba untuk lebih tegar dan tersenyum lembut. "Gak papa, Ma. Aku baik-baik aja sekarang. Jadi mama stop nangis ya?"

Mama tampak menyelaraskan napasnya. Lalu kembali menatap gue yang baru aja selesai menghapus semua bulir air mata dari pipinya. Dia memegang tangan gue. "Sayang, meskipun pernikahan kamu dan Aditya terjadi karena dilandasi tuduhan. Setidaknya bagi mama, papa, dan keluarga Aditya sama sekali enggak. Kami selalu percaya bahwa kalian enggak mungkin melakukan hal itu. Putri mama adalah gadis yang baik dan selalu menjaga kehormatannya sebagai perempuan. Apa pun keputusan kamu dan Aditya, kami janji akan menghargainya."

Sekarang gantian gue yang nangis. Padahal, kehidupan yang rusak di sini bukan cuma gue aja. Tapi kak Radit juga ikut terseret dan karirnya yang baru aja mau dimulai bakal hancur kalau sampai ketahuan.

Dan itu semua terjadi setelah dia nolongin gue yang kena hipotermia. Tiba-tiba aja menyadari sesuatu.

"Kak Radit gimana, Ma?" tanya gue ke mama sambil menghapus air mata gue. "Dia mutusin apa?"

"Mama belum tau, Sayang." Mama tampak kebingungan dengan sikap gue. "Kenapa?"

"Gimana kalau aku ...." Gue membasahi bibir bawah sejenak. Entah ini langkah yang tepat atau enggak, tapi gue benar-benar buntu. Kak Radit udah nyelamatin gue dua kali, jadi baiknya gue serahin keputusan sepenuhnya ke dia sebagai balas budi?

"Aku gatau ini bener atau enggak. Tapi kayaknya ...." Gue menatap mama sebelum melanjutkan dengan yakin, "aku ikut keputusan kak Radit aja deh, Ma."

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang