LOST| 15 terpisah

252 31 0
                                    

                              ***

Jefran terus melangkah dengan segenap keyakinan dalam dirinya, melangkah lurus dengan sebelah kakinya yang pincang akibat terjatuh tadi. Matanya terus memandang kedepan, berharap netra itu dapat menemukan teman-teman nya di depan sana.

"Kalian dimana, sih?" Kaki jenjang itu berhenti melangkah "mereka sadar gak sih kalau ada yang ketinggalan gini"

Setelah di rasa cukup untuk mengeluh, pemuda 22 tahun itu memutuskan untuk lanjut melangkah walau terseok-seok.

Penyebab Jefran tertinggal rombongan nya adalah kakinya yang tiba-tiba terasa keram dan sulit di gerakkan, ia sudah memanggil Aiden berulang kali, namun pemuda itu seperti menulikan pendengaran. Karna tidak ingin tertinggal terlalu jauh, Jefran memaksakan kakinya untuk melangkah maju, akhir yang buruk harus di terima, tungkai yang di paksa terus melangkah akhir nya harus rela menghantam tanah, akibatnya kaki kanan Jefran terkilir dan sama sekali tidak dapat di gerakkan sebelum sang empu nekat mengurutnya dengan kemampuan yang tergolong sangat awam

Jefran meringis berulang kali ketika kakinya kembali terasa nyeri, tangannya menggenggam sebuah kayu yang menjadi penopang nya dengan erat, menyalurkan segala rasa sakit yang dirasakannya.

Tanpa mengindahkan rasa sakit yang kian menjadi, Jefran mencoba melangkah dengan cepat, tidak memperhatikan apapun di sekitarnya.

Nasib buruk, kakinya seperti di timpa batu besar saat tak sengaja menginjak sebuah tunggul kayu, tubuhnya limbung kearah kanan. Tanpa sepatah katapun, tubuh itu berguling dengan kencang, menghantam segala hal yang dilewati. Jurang sedalam 60 meter itu Jefran jelajahi dengan malang.

Tubuhnya menghantam sebuah batu besar yang tertanam di tebing jurang, Jefran masih mendapatkan kesadarannya beberapa saat "tolong..." Lirihan itu pergi mengalun terbawa angin tanpa ada satupun orang yang mendengarnya.

Di tengah rasa sakit yang kian merajai, sekelebat bayangan muncul di hadapannya. Senyum ibu dan ayahnya tampak begitu nyata.

Bagai sebuah kaset, memory saat terakhir ia memeluk sang ibu untuk berpamitan pergi mendaki kembali terulang.

"Aku cuma pergi dua hari, Bun. Habis itu langsung pulang"

"Kalau lebih dari dua hari, bunda gak izinin kamu muncak lagi selama setahun, ya!"

Jefran mengangguk sembari tersenyum "iya bunda sayang"

Sang bunda turut tersenyum, namun senyum itu pudar ketika firasat tidak enak muncul di hatinya

"Kamu yakin mau muncak lusa? Perasaan bunda gak enak lho ini"

"Bunda kan selalu gitu setiap aku mau muncak, aku bisa jaga diri, Bun. Buktinya aku selalu pulang sesuai janji, kan?"

"Kalau lebih dari dua hari, kamu traktir ayah" celetuk sang ayah yang tiba-tiba datang sambil membawa koran

"Ayah ngajak taruhan?"

Airlangga, pria paruh baya itu tertawa singkat "ayah gak yakin kamu dua hari doang di sana, kamu suka lupa waktu kalau udah di gunung"

"Kalau aku gak lebih dari dua hari, gimana?"

"Ayah turutin apa yang kamu mau selama seminggu "

Senyum Jefran mengembangkan sangat lebar "oke!"

Kini, Jefran menyesal akan janji yang ia utarakan pada ayah dan bundanya. Ia ingkar janji kali ini. Jefran ingin pulang, ia ingin pulang dan memeluk erat bundanya, ia ingin pulang dan kembali bercengkrama dengan ayahnya. Ia ingin  merasakan kembali kehangatan yang beberapa hari ini telah hilang dari hidupnya.

LOST  In The Mountain  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang