.
.
.
.
.Mark melangkah lunglai keluar dari ruang operasi, blazer warna abu yang dikenakan nya menjadi saksi dari kebar-baran sang istri. Kedua tangan nya meremat surai sehitam arang yang berantakan, hasil dari jambakan orang yang sama.
Pintu ruang operasi kembali terbuka, menampakan figur Wendy yang ikut berjalan menghampirinya dengan senyuman lebar. "Kamu keliatan ngak baik? Padahal Jenica baik-baik aja, anak anak kalian juga semuanya lahir sehat, secara normal lagi"
Pria itu menoleh begitu mendengar seruan bahagia sang tante, "Sejak kapan Jenica hamil empat anak? Rambut aku rasanya udah mau botak ditarik sama dia."
Kekehan halus disertai gelengan didapat oleh Mark, dokter wanita itu merangkul bahunya sambil berkata, "Coba bayangin kalau kamu ada di posisi Jenica, dia lagi berjuang antara hidup dan mati untuk ngelahirin anak kalian. Satu aja setengah mati, gimana ngeluarin empat sekaligus dalam satu waktu?"
Pandangan Mark menyendu, sebuah helaan nafas panjang ia keluarkan tanpa sadar. "Aku ngak berguna jadi suami dia ya tante? Bahkan selama Jenica hamil, aku ngak pernah ada untuk dia. Selama ini cuman dia yang berjuang, sementara aku cuman nutup mata"
"Dalam kehidupan pernikahan, perlu ada dua untuk mulai bukan? Nah dari dua sisi yang berbeda tapi disatuin itu, pasti punya perbedaan yang bisa nimbulin masalah. Pernikahan memang indah Mark, tapi belum tentu selalu jalan nya lurus kayak tol. Baik itu istri ataupun suami pasti pernah ngelakuin kesalahan, nyakitin secara ngak sengaja itu adalah hal yang pasti pernah terjadi-" nafas Mark tercekat seketika, perasaan bersalah nya masih saja tidak bisa lepas dari benaknya.
"Jenica mungkin udah terlanjur terluka sama perlakuan aku, dan mungkin aja dia ngak mau nerima aku lagi sebagai suaminya" jari jemarinya mulai bergerak meremat pergelangan tangan nya sendiri.
Wendy memutar bola matanya malas, entah apa lagi drama yang dibuat Jenica jikalau gadis itu sudah terbangun. Menghabiskan waktu bersama Karina dan Jenica selama beberapa bulan terakhir ini membuat mata batin nya terbuka,
They shared one braincell, and both Karina and Jenica can't life without any drama.
"Kalian masih saling cinta, tapi sama sama takut untuk kembali. Asal kamu tau ya Mark, Jenica itu anaknya ngak mau ngambil peran aktif. Dia maunya kamu yang mulai buat memperbaiki hubungan kalian, karena dia ngerasa kamu terlalu cuek dan ngak punya perasaan yang sama ke dia" Sebuah tepukan keras di pipinya membuat Mark tertawa geli, mendengar ucapan dari sang tante membuatnya yakin bahwa sosok Jenica yang sudah pergi meninggalkan nya setengah tahun terakhir ini masihlah orang yang sama.
"Tante kayaknya tau banget tentang Jenica ya?" Yang ditanya malah hanya memberikan sebuah senyum simpul. Ia lalu membawa keponakan berjalan menyusuri koridor rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang perawatan intensif neonatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑬𝒙𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏𝒄𝒆 𝑿 𝑬𝒙𝒄𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆
Fanfiction𝐒𝐞𝐜𝐨𝐧𝐝 𝐁𝐨𝐨𝐤 𝐟𝐫𝐨𝐦 𝐀𝐬𝐡𝐭𝐨𝐧𝐢𝐬𝐡 𝐋𝐢𝐟𝐞𝐞* Keinginan Jenica untuk membuktikan kehadiran nya sebagai seorang istri, serta Mark yang berusaha keras membuktikan perasaan cintanya pada Jenica. Dengan perubahan sifat Mark yang mendomin...