.
.
.
.
.Rasanya Jenica mulai risih dengan pakaian yang dikenakan nya sekarang, serba hitam dengan kacamata bulat dan topi yang menutupi kepalanya. "Huh udah kayak orang mau hadirin pemakaman aja! Outfit gini kan bukan gua banget, walaupun cara pakaian begini yang diagung-agungin sama Karina. Cih sok-sokan mirip sama artis Korea katanya."
Sementara cowok yang disebelahnya cuman bisa menggelengkan kepala maklum, malah rasanya bakal aneh kalau Jenica tiba-tiba diem seribu bahasa. Sampai di titik itu, Mark baru harus khawatir kalau istrinya kerasukan setan.
"Apa bagusnya pake baju serba item gini? Kamu juga suka pakai baju serba item, mau pamer kulitnya putih? Jangan-jangan keluarga Geovanni emang demen warna dark ya? Padahal hitam kan butuh putih, kalau hidup cuman item jadinya gak bakal ada abu-abu" usakan gemas diterima Jenica, masih dengan dunianya sendiri dan memainkan seatbelt yang tersampir di dadanya.
"Hitam dan putih cuman pelengkap dalam teori warna, sekedar value yang membantu terciptanya warna warna lain. Dunia ini ngak akan hidup cuman dengan hitam dan putih, Nica. Andaikata aku hitam dan kamu putih, cuman bisa hasilin satu warna yaitu abu kan? Masa kamu cuman mau punya Nuel?"
Jenica merotasikan matanya malas, untuk urusan filosofi hidup ternyata bukan cuman dia jagonya. Bedanya dia pinter bikin permisalan dalam urusan makanan, Mark lebih nguasain semua hal. Maklum, Jenica kan pernah punya status hanya sebatas murid—guru sebelum mereka nikah.
Ibarat kata, murid ngak akan bisa menang dari gurunya sebelum menyelesaikan pendidikan nya. Sedangkan Jenica aja belom lulus dari sekolahnya, dan milih buat stop ditengah-tengah. Mana mungkin dia bisa menang dari Mark?
Dia yang selalu dapet ranking terakhir di kelas cuman bisa bangga karena unggul dalam hal silat lidah.
"Ngomong-ngomong tentang Nuel, dia pecicilan banget kayak ulat bulu. Aku selalu harus ngawasin dia ekstra biar ngak ganggu dede-dedenya. Dia mirip kamu pas masih kecil ya?" Mark menoleh dengan pandangan tak paham, malah melempar balik pertanyaan itu pada sang istri.
"Kenapa nanya aku? Harusnya aku yang khawatir kalau sifat mereka semua nurun dari kamu. Siapa yang nolak buat tidur bareng anak-anak? Perasaan ada cewek yang nangis nangis didepan aku sambil bilang takut gencet anaknya sendiri pas tidur. Siapa ya yang setiap hari nendang kepala aku pas tidur? Bisa pecicilan begitu padahal lagi tidur, kepala dimana, kaki dimana"
Mau sebodoh apapun Jenica, dia pasti paham sindiran Mark yang ditujuin ke dia. Bibirnya mengerucut sambil menatap pria yang duduk di kursi kemudi dengan tajam. "Ya siapa lagi kalau bukan aku? Liat aja kalau berani tidur sama cewek lain, aku pulang kerumah mama"
"Kamu boleh pergi kalau aku selingkuh, tapi anak-anak tetep sama aku ya" Mark terkekeh pelan, menyugar surai kelamnya sebelum mengecek jam yang bertengger di pergelangan tangan nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑬𝒙𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏𝒄𝒆 𝑿 𝑬𝒙𝒄𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆
Fanfiction𝐒𝐞𝐜𝐨𝐧𝐝 𝐁𝐨𝐨𝐤 𝐟𝐫𝐨𝐦 𝐀𝐬𝐡𝐭𝐨𝐧𝐢𝐬𝐡 𝐋𝐢𝐟𝐞𝐞* Keinginan Jenica untuk membuktikan kehadiran nya sebagai seorang istri, serta Mark yang berusaha keras membuktikan perasaan cintanya pada Jenica. Dengan perubahan sifat Mark yang mendomin...