*ne veut pas se rencontrer*

313 48 25
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.
.
.



Detik per detik berlalu namun kedua anak hawa yang saling duduk berhadap-hadapan itu tetap mengunci mulut mereka rapat-rapat semenjak awal mendudukan pantat di salah satu cafe terdekat yang mereka temui. Jenica meremat gelas kopi yang udah ditengaknya habis dengan pandangan yang kosong, seberusaha mungkin untuk ngehindarin adu tatap sama Karin, sementara yang satunya pun ngak jauh berbeda.



Karina yang sibuk dengan pikiran nya, memilih untuk memalingkan wajah kearah jendela, yang menampakkan rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. Entahlah—mungkin lidahnya terlalu kelu untuk memulai pembicaraan dengan seseorang yang sudah lama tak ditemuinya, tiga tahun itu berarti 3 x 365 hari.....



Karin benci harus mengakuinya, tapi ada begitu banyak hal yang ingin dia luapin sama Jenica—hal yang selama ini disimpan nya rapat-rapat, tentang hatinya juga yang menjerit sakit, dan bagaimana dia harus hidup dalam perasaan bersalah selama tiga tahun kebelakang.



Bersangkutan juga sama hubungan asmara nya sama Kevin—anak dari Tante Wendy yang dikencani nya semenjak mereka kenalan di Canada tempo hari, sampai saat ini dia masih gak bisa kash kepastian ke pacarnya yang nunggu dia untuk sekedar jawab, “ya” atas lamaran nya.



Bener, Kevin udah ngelamar dia. Jauh lebih lama perkenalan nya dibandingkan Mark dan Jenica yang baru kenal, langsung sat set ke tahap bikin anak, langsung jadi, dan nikah.



Karin ngak seterburu-buru itu, dia main aman dan berkaca dari pengalaman kakak sepupunya yang bisa dibilang gagal dalam pernikahan nya. Karin jelas ngak mau hal yang sama terjadi sama pernikahan nya dan Kevin, meski mereka nikah memang pure dilandaskan oleh cinta. Tapi siapa sih yang ngak percaya sama yang namanya karma?



Dia udah bikin Mark sama Jenica yang sejak awal pernikahan mereka aja udah bermasalah, sempet pisah setahun eh tambah makin parah. Atas ide gobloknya yang bikin ego Jenica ningkat dan milih untuk kesenangan masa muda semata, ngabain kata-kata Mark yang nyuruh istrinya untuk stay dirumah dan jaga kembar yang lagi aktif-aktifnya, sampai yah—kejadian yang sangat tidak diinginkan terjadi.
Jujur, kalau bisa dibilang Karina trauma banget ngeliat betapa menyeramkan nya Mark di malam itu.



Semenjak kecil sampai beranjak dewasa, Karin ngak pernah liat sosok kakak sepupu yang sangat disegani di keluarganya itu bertindak diluar batas, sampai main tangan apalagi. Mark emang vibesnya serem. Dia tenang-tenang menghanyutkan, tapi Karin ngak pernah nyangka Mark akan semarah itu sampai main tangan sama Jenica.



Selain itu, Karin juga ngak akan bisa lupa gimana takutnya Jenica sampai nangis gemeteran waktu diseret Mark pergi dari arena balap. Dia pengen ngejelasin, dihadapan seluruh keluarganya yang saat itu suprisingly langsung kumpul tanpa ada wacana, mereka-mereka yang selama belasan tahun pergi ninggalin Jakarta semenjak kepergian grandma, mendadak care dan ngerempongin Loona yang jatuh koma.



𝑬𝒙𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏𝒄𝒆 𝑿 𝑬𝒙𝒄𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang