*toi et moi fini*

342 58 20
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.
.
.



"Akhh perih" Jisung langsung menarik kasa dari pipi sang kakak. Pandangan nya khawatir namun tak pelak ia juga merutuki sifat ceroboh Jenica.



Jika dulu sulung Histro itu menjatuhkan handphone miliknya dan ia marah, itu wajar. Tapi lebih wajar lagi bila sekarang ia merasa sangat sangat marah dan kesal begitu tahu keponakannya jatuh karena ibunya sendiri.



Jisung menepuk nepuk pelan pipi Jenica yang sudah ia beri salap. Kedua sisi pipi gembil kakaknya itu memerah bekas tamparan. "Kak, lu tau gak kalau gua juga marah? Gua kesel kak begitu tau—hahh....bisa bisanya setega itu seorang ibu ninggalin anak-anaknya sendirian demi balap liar. Tapi gua berusaha buat ngak ngelukain lu lagi. I know tanpa gua ngomong sepatah katapun, lu udah cukup terluka. Dunia ngebelakangin lu seketika kan?"



Jenica tetap diam menyimak, matanya berkaca kaca dan siap untuk kembali menumpahkan air mata. Nafasnya tercekat menunggu kalimat selanjutnya yang akan diutarakan sang adik.



"Karena lu salah, dan gua yakin mata lu udah cukup terbuka untuk itu. Dulu Mark nyakitin lu pribadi, tapi sekarang lu nyakitin suami lu dan anak anak lu juga. Everyone thinks that lu udah gagal jadi seorang istri dan ibu. Tapi gua nggak setuju sama perlakuan mama ke lu. Mama salah karena ikut campur, mama salah udah nampar lu disaat dia juga udah gagal jadi seorang ibu—untuk kita"



"Kembar sayang sama mamanya, mereka terus nyariin lu bahkan setelah dua hari ini lu ninggalin mereka. Mereka semua ngak salah. Cuman seperti kita kak, kita korban dari keegoisan kedua orang tua kita" hening untuk sesaat, bibir Jenica terlalu kelu untuk mengucapkan satu patah kata.



Rasanya ia terlalu hina untuk kembali bertemu dengan keluarga suaminya. Ah—calon mantan suaminya. Jenica rindu, pengen banget ketemu sama kembar. Denger lagi suara tangisan dan tawa yang biasa mereka keluarin waktu sama dia. Tapi kini apa bisa dia dipanggil mama?



Dengan egoisnya dia milih kebahagiaan nya sendiri, dibandingkan untuk tetap ada sama kembar. Bodoh, bodoh sekali! Apa ini yang dinamakan dengan pengorbanan seorang ibu? Jika aja waktu itu dia ngak kemakan emosi, pasti sekarang hubungan nya sama Mark baik baik aja, dan kembar masih ada sama dia. Terutama, Loona nya yang ceria dan pecicilan pasti masih ngak akan terbaring lemah di rumah sakit.



Loona.......



Liloona Archangelise Geovanni, satu satunya putri yang ia miliki dari pernikahan nya dengan Mark.



Si bungsu dari empat bersaudara yang berada diantara hidup dan mati. Ah, Jenica memejamkan matanya sambil menahan isak tangis. Putri kecilnya ngak salah, dia masih terlalu kecil untuk ngerasain sakit kayak begini. Ini semua salah dia, coba aja kalau egonya ngak naik, dia ngak akan terima ajakan Karina dan kemakan omongan nya Haechan.



𝑬𝒙𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏𝒄𝒆 𝑿 𝑬𝒙𝒄𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang