Malik membuka tutup kaleng cola dengan setengah kekuatan, kemudian menenggak isinya tanpa jeda hingga habis tak bersisa. Merasa kurang, laki-laki dengan potongan rambut rapi dan kaku itu kembali melangkah ke vending machine, memasukkan selembar warna kuning ke dalam mulut besi di atas sekumpulan tombol. Dipencetnya nomor 3, dan keluarlah sekaleng bernuansa merah yang berisi cairan cokelat.
Mungkin ini yang keempat.
Laki-laki dengan setelan kasual itu setelahnya merasa bosan, dan sedikit kembung juga pasca meminum banyak cairan gula. Ia melangkah lagi, tapi kali ini bukan berbalik, melainkan ke arah kanan di mana tempatnya menuntut ilmu sekarang bersemayam.
Kampus.
Sebuah bangunan tinggi nan besar menatap balik pemuda itu yang saat ini hanya memakai kaus hitam dan celana bahan selutut dengan warna senada, ditutupi sebuah jaket jeans biru tua yang lengannya ia gulung hingga siku. Tak ketinggalan sepatu olahraga putih dengan sol tebal dan tas punggung biru dongker yang menjadi aksesoris.
Begitu Malik mendekati bangunan besar tersebut, rupanya di balik itu ada sekitar enam bangunan lain yang tersebar di seluruh penjuru wilayah kampus. Seperti istana dengan pilar-pilarnya, semua tersusun rapi dan merata.
Meski dalamnya tidak.
Walau dari luar terlihat megah dan eksklusif, nyatanya kampus yang ditempati Malik saat ini memiliki pembagian fasilitas yang tidak merata. Ada yang gedungnya ber-AC dan tidak, ada yang WiFi di dalam satu bangunan sangat kencang dan yang lain bahkan ada yang tak memiliki akses, serta hal-hal krusial seperti kursi, meja, dan interior yang terkesan hanya selesai di dua-tiga bangunan.
Semua itu tak perlu dipikirkan jika seandainya Malik adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran atau Fakultas Hukum, tapi yang jadi masalah adalah pada kenyataannya, pemuda itu berada di jurusan Sastra Inggris. Tidak seburuk itu, hanya saja akan terlihat sekali perbedaan fasilitas yang diperoleh jurusan-jurusan tersebut dengan apa yang didapatnya.
Mungkin karena donasi juga.
Sejujurnya Malik tak begitu mempermasalahkan apa yang tersaji di depan matanya, toh, rasanya bisa mengeyam pendidikan saja sudah bersyukur. Tapi tetap saja ada sedikit rasa-rasa kesal di dada ketika menyadari dirinya juga membayar.
Begitu melewati bangunan utama dan sampai di dalam, Malik langsung disambut oleh kolega-koleganya yang baru saja keluar dari gedung ke-lima, menyelesaikan jam tambahan mereka.
"Malik si Penjaga Neraka! Akhirnya dateng juga lo jemput kita-kita!"
"Mulut lo gue masukin neraka, ya, Jis. Emang najis, lo."
Aziz, salah satu dari empat yang menghampiri lelaki itu hanya menyengir kuda sebagai respon.
"Kemana aja lo sambil nunggu?" Kali ini Farhan, laki-laki atletis di sebelah Aziz yang membuka mulut.
"Pede banget lo ngira gue nungguin." Malik mendelik, membuat Farhan mengeluarkan dua jari tangan membentuk huruf V.
"Tadi minum dulu di sana, gak jauh jadi sekalian aja gue balik. Ada barang yang ketinggalan."
"LO MINUM?! BUKANNYA SEVEL¹ UDAH GAK JUAL ALKOHOL LAGI, YA?!"
"Ziz, lo tahu sendiri Malik minumnya apa," ucap seorang lelaki berkepala plontos yang berdiri di hadapan Aziz dengan wajah datar, Satya.
Aziz mencibir. "Takut, ah, ada ABRI."
"Eh, mulut lo asal ceplos tahunya si Satya beneran jadi tentara, abis lo di-headshot."
Balasan Farhan memicu cekcok kecil di antara mereka bertiga, membuat Malik merasa jengah dan ingin segera melepaskan diri dari teman-temannya yang kurang otak. Lelaki itu menoleh pada orang terakhir yang sepanjang mereka bertemu hari ini tak mengucapkan padanya sepatah katapun, Damar, untuk meminta tolong padanya mengatakan Malik akan pergi lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
centimeters (COMPLETED)
General Fiction"149 cm Malik dan 191 cm Clarissa, seperti apakah hubungan mereka dimulai?" ••• Pemilik rambut krem sepunggung itu tersenyum bodoh, sedangkan si penggemar jaket jeans hanya bisa mendengus setiap kali melangkahkan kaki. Mendambakan hidup yang menyena...