12

20 1 0
                                    

Jadilah saat ini, Malik tengah sibuk bekerja melayani orang-orang yang datang dengan perut kelaparan.

Malik menawarkan dirinya pada sebuah restoran di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Berkat kemampuan bahasa asingnya yang cukup mumpuni (untungnya, Malik pernah mengambil tes sertifikasi Bahasa Inggris dan lulus dengan skor yang memuaskan), pria itu berhasil direkrut oleh manager restoran dan mulai bekerja dengan jaminan gaji yang lumayan, untuk seorang waiter atau pelayan.

Ditambah, untuk berkonsentrasi di pekerjaannya, Malik memutuskan putus kuliah dan tak tahu kapan ingin memulai lagi. Kakaknya adalah yang paling utama, dan sudah menjadi kewajiban untuk Malik mengeluarkan usaha ekstra.

Hari pertamanya, dan pria itu tak menemukan kesulitan.

Memang, karena tubuhnya tidak tinggi dan itu berarti lengannya juga pendek, pria itu sedikit menemukan kesulitan saat akan mengantar lebih dari tiga piring. Apalagi, restoran tempatnya bekerja tergolong menengah ke atas, yang mana mereka lebih sering menggunakan piring-piring besar dengan porsi makan kecil.

Dalam waktu singkat, Malik juga berhasil menjalin komunikasi dengan para rekan kerjanya meski harus menahan berkali-kali dibilang imut atau lucu oleh kebanyakan dari mereka. Namun, ia tak mengeluh. Toh, mereka bukan orang jahat atau spesies menyebalkan. Malik tak perlu khawatir.

"Mal, itu meja 3 ada yang manggil. Gue mau nganter ini ke sana, pesenan mereka banyak soalnya," ucap salah satu rekannya yang berambut ikal merah. Malik yang sedang menyusun minuman di nampan menoleh, kemudian menyadari pembeli di meja nomor 3 tampak terus melihat ke arah mereka.

Pria berambut merah itu menepuk pundaknya sebelum menata nampan-nampan di kedua tangan, membiarkan Malik menarik napas panjang karena detik berikutnya setelah ia balas melihat para pembeli tersebut, wajah mereka sama sekali tidak terlihat ramah.

Pria itu berjalan menghampiri, dan seorang pria paruh baya dengan perut mencuat dari kemejanya, yang sepertinya datang bersama istri dan dua anaknya itu langsung menyemprot tepat di depan wajahnya, membuat Malik bahkan tak sempat bertanya seperti prosedur pada mereka.

"Makanannya kok, mentah, ya?! Steak saya dan anak saya dua-duanya masih mentah, bau, dan dingin, pula! Terus, ini! Jus jeruk istri saya terlalu asam! Kalian ini niat kerja, gak, sih?! Saya sama keluarga udah capek-capek datang ke sini niatnya mau nyari makanan enak! Eh, malah zonk! Mending saya ke warteg sekalian, lebih manusiawi dari makanan kalian!"

Benar-benar, deh. Beberapa waktu lalu Malik sudah senang karena sebentar lagi jam kerjanya akan berakhir, kenapa moodnya malah diganggu begini, sih?

"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pak, atas kesalahan penyajian kami yang kurang diperhatikan. Untuk makanannya, kami akan mengganti dengan piring yang baru-"

"TIDAK USAH! KAMU MAKAN AJA SENDIRI!"

Prang!

Seluruh aktivitas restoran terhenti, ketika sebuah piring penuh berisi steak tiba-tiba terlempar di udara dan mendarat tepat di wajah Malik, membuat pria itu refleks membulatkan mata terkejut, tak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi di depan matanya.

Beberapa detik hanya diisi keheningan, sebelum akhirnya dua pelayan lain datang ke meja tersebut disusul oleh amarah pria tua itu yang tak kunjung usai, serta gemuruh riuh pengunjung lain yang berbisik-bisik maupun bicara dengan suara yang tak mau repot-repot dikecilkan.

"Saya ini udah bayar mahal! Capek-capek kerja, tahunya dikasih makanan gak becus kayak gini! Gimana, sih, ini restoran! Mendingan tutup aja! Ayo, Mah, kita makan padang aja! Lebih enak jauh dari tempat makan palsu kayak gini! Buruan, buruan!"

centimeters (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang