Menjadi seorang laki-laki itu harus bisa mengemban tanggung jawab.
Yang tidak main-main besarnya.
Harus bisa melindungi keluarga dan orang-orang terdekat, terutama perempuan dan anak-anak.
Harus bisa menjadi nahkoda yang baik, pemimpin yang mengerti akan arus lautan dan kemana mereka akan berlabuh. Orang yang menjadi kepala sebuah keluarga, bertanggung jawab lebih dari siapapun atas istri dan anak-anaknya.
Orang yang mampu diandalkan, yang diharapkan bisa menjadi tulang punggung pertama dalam setiap keadaan.
Jika tak dipahami secara cermat, banyak orang bisa celaka.
Dan Malik, esok paginya, jatuh sakit dengan tak disangka.
Pria itu baru merasa tak enak badan saat terbangun tengah malam; dirinya terlalu haus untuk menahan sampai pagi tiba. Biasanya, Malik akan langsung merasa segar setelah tertidur dengan cukup, namun kali ini rasanya malah meriang di sekujur tubuh.
Panas. Pusing. Dingin. Menggigil.
Ia pikir, setelah memutuskan tidur lagi, lelaki itu akan dapat merasakan kesegaran seperti biasa. Tetapi, justru sekarang kakinya terasa kaku dan badannya kelu.
Jadi, ia tidur lagi.
Entah sudah berapa lama dan berapa kali ia memejamkan mata, ketika membukanya, kepala Malik terasa berat. Sungguh berat, hingga ia nyaris tak bisa membedakan apakah yang tertanam di bagian paling atas tubuhnya ini adalah kepala atau sebuah potongan dosa.
Di samping hal itu, penglihatannya juga tak bisa diharapkan.
Entah perasaannya saja atau memang ruangan dimana ia menghabiskan waktu tidurnya ini sangat gelap? Malik bersumpah ia tak bisa melihat apapun, hanya mampu menggesek-gesek kecil kedua kakinya memastikan ia masih bisa merasakan mereka.
Butuh waktu lama baginya untuk mengenali bahwa ini bukan kamarnya.
Kasur miliknya tak seempuk ini, juga wangi kamar pria itu adalah vanilla, bukan obat.
Dan sirkulasi udara di kamarnya tak pernah sebagus ini.
Rumah sakit. Hanya itu yang dapat Malik pikirkan.
Nah, sekarang, siapa yang membawanya ke sini? Terlebih lagi, bagaimana cara menyalakan lampu? Malik ingin pipis.
Seluruh badannya terasa sangat kaku dan nyaris tak bisa digerakkan sama sekali. Ia tak punya tenaga, apalagi suara untuk memanggil siapapun yang berjaga. Dan baru ia sadari laki-laki itu memakai infus, maka segera saja ia menarik-narik tali yang menyambungkan kantung cairan dengan tangan kirinya, berharap menimbulkan suara atau pergerakan.
Berhasil, karena ia dapat mendengar suara deheman seorang lelaki, disusul dengan langkah kaki.
Damar.
Setelah lampu dinyalakan, sosok Damar adalah satu-satunya yang bisa ia lihat.
"Malik?" Damar memanggil untuk memastikan sahabatnya sudah benar-benar sadar, dan Malik juga sebisa mungkin membuka matanya lebar-lebar, agar cepat disadari Damar.
"Oh, demamnya udah turun." Tapi tak banyak. Malik masih merasa seperti di neraka.
Damar mengecek suhu tubuh Malik lagi, lalu berniat memanggil perawat kalau saja Malik tak mencegah dengan menarik lengan bajunya. "Pi ... pis."
"Apa?"
"Pi ... pis!" Suara yang keluar tak lebih dari deru angin. Malik mengutuk dirinya sendiri.
Untung saja, yang berjaga adalah Damar. Pria itu langsung menyadari keinginan sang sahabat dan membantunya berjalan ke kamar mandi, walau Malik menolak mentah-mentah saat Damar menawarkan diri untuk menolongnya dalam membuka celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
centimeters (COMPLETED)
General Fiction"149 cm Malik dan 191 cm Clarissa, seperti apakah hubungan mereka dimulai?" ••• Pemilik rambut krem sepunggung itu tersenyum bodoh, sedangkan si penggemar jaket jeans hanya bisa mendengus setiap kali melangkahkan kaki. Mendambakan hidup yang menyena...