2

35 0 0
                                    

"176. Bertambah 3 centi dari sebelumnya," senyum seorang dokter yang sekarang tengah sibuk mencatat setelah mengukur tinggi badannya.

Clarissa menghembuskan napas.

"Gimana rasanya 176 di kelas 1 SMP? Keren, gak?"

Pasca melangkah keluar dari ruang pengukuran, Clarissa mendapati sepupunya, Illiana, nyengir kuda menyambutnya. Clarissa, gadis itu, kemudian menampakkan wajah terganggu.   "Itu bukan pencapaian buat gue."

"Ya, ya ... gue paham apa yang akan lo bilang sebentar lagi. Pencapaian didapat dengan usaha. Sedangkan lo gak berusaha, kan? Mau lo makan fast food atau serangga sekalipun, kalau udah ditakdirin begini ya begini," cerocos Illiana, memutus niat Clarissa yang baru saja menarik napas untuk bicara lagi.

Gadis itu merilekskan wajah. Kemudian ia melihat ke lantai, memikirkan sesuatu. "Gue pikir memang benar manusia gak pernah puas. Saat orang lain berlomba-lomba punya badan yang tinggi, gue rasa ini agak terlalu berlebihan buat gue."

Illiana mengedip dua kali. "Lo tahu, kan, keuntungan apa aja yang bisa diraih dengan itu?"

"Hm." Clarissa mengangguk. "Makanya gue rasa pemberian ini dikasih ke orang yang salah. Kalau di gue, cuma berakhir jadi sesuatu yang sia-sia."

Gadis yang lebih muda beberapa bulan di sampingnya itu terkekeh. "Yah, kalau masalah itu, coba aja lo nonton Haikyuu!!²"

Clarissa tak pernah menanggapi lagi kalau sepupunya sudah membicarakan tentang anime, atau apapun yang berhubungan dengan hiburan kesukaannya. Bukannya tidak suka, perempuan itu tak akan pernah mengerti dengan istilah-istilah dan nama-nama yang keluar dari mulut Illiana.

"Gimana, ya. Kalau misal lo atlet dan punya tinggi badan semenguntungkan apapun, tapi gak serius sama apa yang lo lakuin, pasti akan tersaingi juga bahkan sama orang yang di mata lo kelihatan kayak kurcaci. Karena orang akan mendapatkan sesuatu jika ia benar-benar menginginkannya. Tuhan gak pernah salah."

Gadis berambut panjang dengan warna matte cream itu hanya memerhatikan sepupunya berbicara. Kemudian kepalanya kembali ditundukkan sembari ia menggesek-gesekkan ibu jari kedua tangannya.

Orang yang benar-benar ingin, ya ...

•••

"Usaha sendiri? Kenapa gak nerusin punya Ayah aja?" Abraham Dary, ayahnya, mengerutkan kening.

Setelah sekian lama, gadis itu akhirnya memberanikan diri datang sendiri ke ruang kerja Abraham, dimana sedikit ia sesali sesudahnya.

Clarissa menelan ludah gugup, di saat yang bersamaan ia sangat ingin mengeluarkan jantungnya agar berhenti berdetak terlalu keras, namun tak ada gunanya berandai-andai sekarang. Sudah menjadi kenekatan tersendiri untuk menghampiri ayahnya langsung dan berhadapan seperti saat ini.

"Aku ingin ... punya sesuatu yang jadi milikku sendiri ... "

Abraham diam, namun Clarissa tahu ayahnya tengah mengamatinya dalam-dalam.

Seorang pria penuh rahasia yang sudah melalui berbagai macam kejadian dan permasalahan, di hadapannya mungkin Clarissa tak berarti apa-apa.

Sang ayah tak pernah menganggap keluarganya lemah. Abraham selalu memperlakukan istri dan anaknya sebagai orang kuat, sekalipun mereka sedang dalam titik terendah.

Dan ayahnya selalu menghindar dari mereka. Kebanyakan berada di ruang kerjanya, menyelesaikan berbagai kasus dan selalu memasang sikap tegas sehingga perlahan-lahan terasa menakutkan.

centimeters (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang