8

18 0 0
                                    

DOR!

DOR! DOR! DOR!

DORRR!

Tidak.

Malik ke sini untuk mendapatkan ponselnya kembali.

Bukan ditembaki.

Segera setelah Clarissa membuka pintu ruangan luar biasa besar tersebut, Malik dapat melihat sekelebat seorang laki-laki berjas yang sangat besar, dan tentu saja perempuan itu. Namun, pasca tembakan pertama yang beruntung sekali nyasar ke dinding dan bukan ke telinganya, Malik yang mengira semua sudah berakhir, nyatanya didatangi hal yang lebih menegangkan lagi.

Orang besar itu. Terus menembakinya. Setelah pintu terbuka.

Malik langsung berpikir untuk melarikan diri, tetapi pria itu terus mengejarnya dengan lanjut menembakkan peluru ke lantai mengikuti jejak Malik. Gigi laki-laki mungil itu sudah bergemelatuk, sangat berharap bisa melihat pintu keluar dan menyelamatkan diri dari sana.

DOR! DOR! DOR!

Orang berpistol itu terus mengikuti Malik, dan terus menembakkan peluru yang anehnya tak habis-habis ke arahnya, seakan benar-benar mengusir pemuda itu keluar.

Memang ia akan keluar! Jadi, tenang!

Malik mengutuk siapapun yang bisa dikutuk saat di tengah misi penyelamatan dirinya, ada sebuah tangga yang cukup curam di rumah tersebut. Perasaannya sudah tak enak, namun daripada menyerah dan sudah pasti mati muda, lebih baik ia coba dulu, semoga bisa.

Anak itu tanpa ragu menuruni tangga dengan sembrono, memikirkan saat ini lehernya terasa seperti dicekik dan tubuhnya seakan dialiri listrik luar biasa besar, pokoknya ia merasa sangat tegang.

"AAARGGHH!" Sial, sial, sial.

Anak tangga terakhir sialan.

Kakinya terkilir, dan ia jatuh terguling mendekati pintu keluar. Malik tak langsung memikirkan sakitnya, namun orang besar bertampang menyeramkan itu yang membuatnya horor tak terjelaskan.

Putus asa, ia refleks mengesot ke arah pintu kecil yang ia asumsikan pintu keluar itu.

Apa sajalah, asal kesempatannya untuk bebas jadi lebih besar.

Tapi tentu saja semua orang tahu kecepatan mereka berbeda. Orang besar itu semakin dekat dan dekat, membuat Malik merasa jantungnya akan lepas dari rongga dada saat itu juga. Tidak, tidak. Ia masih ingin hidup bersama sang kakak, menyaksikan Mina menikah dengan laki-laki tinggi pujaan hatinya.

Tidak-

"Woohoo, tenang, Ayah. Ini Malik, temenku. Tadi aku ninggalin dia bareng Slavia, jadi kayaknya anak itu yang bilang udah dapat izin dari Ayah ke satpam. Dia bukan siapa-siapa, cuma warga biasa yang kayaknya mau minta ponselnya kembali?"

"Slavia?" ulang Abraham, yang sudah tidak mengarahkan pistolnya ke wajah Malik. Clarissa mengangguk.

Perempuan yang masih melihat kecurigaan di wajah ayahnya itu kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu meminta izin meraba tubuh Malik untuk mengetahui letak ponsel yang dibawa laki-laki itu. Lalu, ia mengangkat keduanya, tersenyum unjuk gigi pada sang ayah. "Slavia emang jahil. Dia sengaja bikin ponsel kami ketuker dengan nuker cangkangnya, bikin aku bawa punya dia ke sini."

"Kenapa Slavia begitu?"

"Yah ... karena ... " Clarissa melirik Malik yang sudah terbaring tak berdaya seakan pemuda itu kehilangan nyawa. Ia juga kesulitan memikirkan alasannya, karena apa lagi selain ingin membuat Malik bertemu "calon mertua".

"Karena ... uhm ... dia pengen nawarin agen pulsa ke Ayah!"

Bagus. Dari segala alasan yang masuk akal, agen pulsa.

centimeters (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang