" ... ha?"
"Malik. Dan Kak Mina." Clarissa menajamkan suaranya, membuat Aziz bergidik takut merasa lututnya bergetar.
Tepat pukul sepuluh malam, wanita tinggi yang baru pria itu temui siang hari tadi mendadak bertamu lagi, namun kali ini dengan nada yang tidak tulus hati.
"Di mana?"
Wanita yang rambutnya tidak pernah terlihat diikat itu menatap Aziz seperti akan memakannya, ditambah Clarissa enggan melepas heels yang melekat di kaki, membuat perbedaan tinggi mereka semakin ketara. "Malik ... kuliah. Kak Mina kerja ... e- lembur, kayaknya."
Benar-benar. Di kondisi seperti ini, Aziz seperti dihadapkan langsung pada rasa takut yang sungguh-sungguh tak ia inginkan.
Clarissa sangat menakutkan. Benar. Wanita ini seperti bisa menamparnya mati kapan saja.
Perempuan itu menyipitkan mata, tidak memercayai sedikit pun kalimat-kalimat yang dikeluarkan laki-laki di hadapannya. Oh, omong kosong.
"Malik masih kuliah? Semalam ini?"
Pihak pemberi alasan terlihat agak terperanjat, baru menyadari ucapannya untuk berkilah sedikit mencurigakan. "I-iya. Dia sekarang lagi di rumah anggota kelompoknya, kemungkinan bakal nginep."
Ya. Alasan yang sangat bisa dipercaya, Aziz. Sangat terdengar masuk akal ketika Clarissa baru dapat konfirmasi jika Mina tengah dirawat di rumah sakit, akibat kecelakaan kereta yang beberapa waktu lalu menimpa perempuan itu.
Tangan wanita itu mengepal.
Kenapa? Padahal Malik sudah lihat sendiri, ia dan Mina bisa dibilang cukup dekat. Apakah Clarissa belum mengetahui kalau ternyata salah satu sifat Malik adalah menutup diri? Atau, lelaki itu terlalu tak enak hati untuk mengganggunya ketika sedang berkarir?
Oh, tidak. Sungguh wanita itu tengah dikecewakan.
"Nginep? Oh ... " senyum miringnya timbul, memunculkan rasa merinding di sekujur tubuh Aziz.
Clarissa masuk tanpa membuka alas kaki, memajukan dirinya beberapa senti mendekati pria di hadapannya, menegaskan sekali lagi bahwa Aziz telah menaruh dirinya sendiri dalam lingkaran kematian. Dan seperti yang diharapkan, pria itu hanya bisa meringkuk berkeringat, berharap datangnya bala bantuan.
Di mana Satya, Damar, dan Farhan ketika dirinya benar-benar membutuhkan mereka?
Lutut Aziz terasa sangat lembek seperti jeli ketika Clarissa menundukkan tubuhnya hingga kepala mereka sejajar, menatap pria itu seperti menemukan mangsa.
"Bermalam di rumah temen, atau rumah sakit?"
Senyumnya.
Suara memekakkan langsung menyambar telinga Aziz, meski pikirannya tahu bahwa hanya ada kesunyian pasca Clarissa mengatakan kalimat terakhirnya.
Pria yang kini sedang ditodong semakin menurunkan badan, sementara Clarissa mendesaknya dengan terus menunduk, nyaris memotong jarak mereka sepenuhnya.
Clarissa tak pernah bilang dirinya orang baik. Menggencet orang lain seperti ini, menurutnya adalah hal terkecil yang akan ia lakukan jika dihadapkan pada situasi dimana, ia harus mendapatkan jawaban.
"Maksud kamu apa?" Suara yang dikeluarkan Aziz tidak sebergetar tadi, Clarissa mengakui lelaki ini cukup pandai mengendalikan diri.
"Rumah sakit. Kak Mina kecelakaan, kan? Dan bukan baru-baru ini."
Merasa punggungnya pegal, Clarissa memutuskan menyudahi acara mengintimidasinya. Dapat ia lihat Aziz juga tampak sedikit lega, meski wajahnya mengutuk dalam hati karena harus jadi orang yang pertama kali diberitahu kebenaran yang tidak seharusnya diketahui perempuan itu, keluar dari mulut Clarissa sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
centimeters (COMPLETED)
General Fiction"149 cm Malik dan 191 cm Clarissa, seperti apakah hubungan mereka dimulai?" ••• Pemilik rambut krem sepunggung itu tersenyum bodoh, sedangkan si penggemar jaket jeans hanya bisa mendengus setiap kali melangkahkan kaki. Mendambakan hidup yang menyena...