9

15 1 0
                                    

Malik bisa mengatakan bahwa mereka baru saja berpetualang sangat seru di sebuah pasar malam. Dimulai dari membeli bermacam-macam makanan, hingga menaiki wahana dan memilih kaus kaki-kaus kaki lucu seharga lima ribuan. Tak cukup sampai di situ, beberapa kali Clarissa bahkan dimintai foto karena penampilannya yang jangkung dan seperti orang asing; yang mana membuat Malik harus menunduk dalam-dalam supaya kepalanya tidak ikut masuk ke dalam kamera, karena sepanjang perjalanan ia masih digendong oleh sang wanita.

"Liat, deh, Malik! Ada mainan ayam petok-petok, pasti bermanfaat buat gangguin Slavia!"

"Ada yang jualan hamster juga! Eh, tapi bukannya haram ya jual-beli binatang? Kalau saya yang beli masih berlaku, gak, haramnya?"

"Kita beli baju dulu, ya! Kamu mau apa? Saya sih, mau nyari baju santai gitu. Buat Illiana celana panjang aja, kalau Slavia kaus kutang."

"Malik, Malik, main lempar gelang, yuk! Kalau saya menang nanti kamu saya kasih boneka, tapi kalau kalah saya kasih kamu ke abangnya."

"Malik! Malik!"

Dan seterusnya.

Pria itu sempat mengira Clarissa adalah seorang wanita yang sedikit pendiam, hanya banyak bicara ketika benar-benar ingin menjahili orang saja. Tapi tidak juga, karena terlihat sekali semangat yang berkobar di diri perempuan itu tak bisa ditutupi mengingat ini adalah salah satu tempat yang sangat ingin ia kunjungi.

Tapi syukurlah, rasanya menyenangkan melihat orang lain senang.

Menjelang tengah malam, akhirnya acara berpasar malam ria mereka pun selesai. Mengantongi banyak makanan dan belanjaan, Clarissa terlihat sangat kesulitan mengangkut semuanya. Ditambah Malik yang masih bergelendotan di belakang, membuat wanita itu harus mengeluarkan konsentrasi ekstra untuk meraih kunci mobilnya dan masuk ke dalam.

"Huaaaahhh ... gak kerasa udah jam segini," serunya setelah berhasil menduduki kursi kemudi dengan nyaman. Menoleh ke kursi sebelah, Malik sudah mengedip-ngedipkan mata pelan tanda mengantuk berat.

Clarissa terkekeh. Kemudian tangannya terulur untuk mengusap kepala Malik yang alih-alih mengelak seperti biasa, malah terlihat semakin nyaman dan sama sekali tak melakukan perlawanan.

Ah, gemas.

Malik itu keren dan menggemaskan.

Hingga akhirnya lelaki itu jatuh tertidur, Clarissa sama sekali belum berniat menjalankan mobil.

Masih di posisi yang sama, wanita itu mengamati Malik lebih dalam dari biasanya. Bulu mata Malik sangat panjang, hidungnya kecil dan mancung, serta bibir tipis yang pucat karena lelaki itu tak pernah menggunakan pelembab. Rahangnya tajam dengan pipi tirus, membuat pria itu terkesan menyeramkan karena alisnya selalu menukik marah.

Tapi terlepas dari itu semua, Clarissa paling menyukai sikapnya.

Dari luar, Malik memang terlihat jutek, emosian, atau bahkan bisa dibilang selalu dalam mode senggol bacok. Anak itu jarang tersenyum, dan memilih bersikap seadanya ketika sedang berbicara dengan orang lain. Malik suka "marah" bukan berarti ia tak mengerti etika, karena lelaki itu selalu tahu bagaimana menempatkan orang-orang dan menanggapi mereka. Jika niat orang itu baik maka Malik tentu akan membalas dengan tulus; berbeda kalau dari awal orang tersebut memang memiliki sesuatu yang buruk untuk dijalankan.

Jika ia tak suka maka Malik akan bilang tak suka. Begitupun sebaliknya. Pria itu berterus terang, tapi tak bodoh. Tentu saja Malik bisa melihat kondisi-kondisi tertentu dimana kadang ia harus melipat lidahnya di dalam mulut dan memaksakan bicara sebaliknya, misal ketika ia mencicipi masakan ibunya Satya. Di samping itu, Malik selalu berusaha sebisa mungkin menegakkan hal yang benar, dan tidak membenarkan hal yang salah (contohnya ketika seantero kelas tidak mengerjakan tugas, Malik adalah "murid" tersebut yang bicara sejujurnya. Dan alih-alih ia yang dijadikan target bully, seisi kelas malah disemprot Malik karena membenarkan hal sesalah lepas tanggung jawab).

centimeters (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang