16

16 0 0
                                    

Malik makan dengan tidak berselera. Saat ini, di hadapannya duduk seorang perempuan yang menjulang, tengah melahap sup dengan elegan seperti tidak terjadi apa-apa. Wanita dengan rambut yang selalu lebih panjang setiap kali mereka bertemu, dan tidak pernah sadar akan tingginya sebab selalu memakai sepatu hak tinggi itu memiliki raut wajah bahagia sekarang, berbeda dengan dirinya yang menekuk alis tidak suka.

Ada sesuatu di dadanya yang meluap-luap.

Beberapa waktu lalu, setelah dirinya sampai di rumah sakit pada malam hari, Malik langsung berlari sekencang mungkin menuju kamar inap sang kakak. Perempuan itu memang sudah sadar seperti kata dokter yang mengirim pesan padanya lima belas menit lalu, dan kini menatap Malik dengan senyum tipis di bibirnya yang pucat, membuat seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.

Akhirnya. Ia harap, setelah ini kakaknya akan terus sadar.

Pria itu berbincang dan memeluk saudarinya, lalu bertemu November untuk membicarakan beberapa hal. Namun, di tengah percakapan mereka di luar kamar Mina, Clarissa datang membawa sebuket bunga ...

 ... menghancurkan segalanya.

Malik tak tahu. Entah karena perempuan itu yang baru saja mengumumkan peluncuran produk baru dan masih menyempatkan diri datang menjenguk Mina, atau pada fakta bahwa seluruh kerja keras laki-laki itu terasa dihancurkan begitu saja oleh seorang perempuan yang bahkan hanya kenalannya ...

Tanpa usaha.

Saat itu, Malik harap Dokter November tak ada panggilan dadakan, hingga pada akhirnya tak meninggalkan hanya mereka berdua setelah perempuan itu selesai memberi bunga pada Mina. Apapun yang merasuki pikirannya, yang Malik tahu, bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Lebih mirip seperti, 'ayolah, buat aku bisa pergi secepatnya dari perempuan ini dan menenangkan diriku selama berhari-hari'.

Karena yang Malik tahu, sedari Clarissa menyapanya dengan senyum dan mengajaknya pergi ke resto terdekat, hingga kini mereka duduk berhadapan di sebelah jendela berusaha saling menikmati makanan (setidaknya hanya ia, karena Clarissa tampak berbunga-bunga), suasana hatinya sudah hitam tak karuan.

Cepatlah, sebelum kusesali apa yang akan kukatakan.

"Malik? Kok, makanannya gak dimakan?" Satu suara dari perempuan itu mampu membuatnya tersentak.

Malik yang semula hanya diam melamun, kini mengangguk patah-patah dan berusaha menyendok nasi gorengnya senatural mungkin, yang mana jadi terlihat canggung dan memaksakan diri.

Walau memang benar, saat ini ia tengah memaksakan diri untuk tidak beranjak, kabur, dan berteriak sekencang-kencangnya mengeluarkan emosi yang menyesaki dada, terhadap perempuan yang sudah berbuat baik padanya.

Iya.

Clarissa telah membantunya.

Wanita itu sudah melakukan tindakan yang mulia.

Tapi kenapa hatinya terasa panas?

Mengapa saat ini ia malu menunjukkan wajahnya?

Gengsi yang luar biasa.

Gengsi yang saat ini tengah mencekiknya, tak mengizinkan Malik untuk bernapas lega.

"Soal Kak Mina, kayaknya dia baru bisa pulang minggu depan atau dua minggu lagi. Badannya cepet pulih, makanya-"

"Makasih banyak udah jenguk Kak Mina. Besok uangnya saya transfer, nanti akan saya bayar sampai lunas."

Tanpa sadar, Malik meletakkan sendok terlalu keras, hingga menimbulkan sentakan pada Clarissa yang kini menatapnya sedikit terkejut.

centimeters (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang