"Tuh, kan." Illiana memanyunkan bibir. Sang kakak yang duduk di sebelahnya tampak tak bernyawa, seakan jiwanya baru disedot ke alam baka.
"Dia itu punya agama, Bang. Susah. Gak bakal bisa. Mau lo sampai kayang pun, Damar gak akan mau sama lo."
"Tapi gue gak akan pernah nemu cinta sehidup semati gue lagi selain dia, Lev. Ngomong doang gampang. Gue sakit hati."
"Lagian." Gadis itu tampak tak mau lagi memusingkan rengekan Slavia. Pria itu sudah cukup tahu bahwa orang yang ia sukai tidak akan pernah mau hidup bersamanya sebagai sepasang kekasih, tak seperti mantan-mantan lelakinya yang selalu jatuh akan pesona Slavia, sekalipun mereka mengatakan "masih lurus".
Tapi, Damar ini, seakan benar-benar tak mungkin untuk ia raih. Dan Slavia, yang selama ini tak pernah ditolak seumur hidupnya, baru kali ini menemukan pria yang benar-benar membuatnya bingung bukan kepalang.
Bukannya Slavia tak tahu agama Damar melarang keras umatnya melakukan praktik LGBT.
Bahkan, lelaki itu sendiri pernah menyukai dua pria yang memeluk agama yang sama dengan Damar, dan tentu saja mereka menolak.
Tapi jatuh juga.
Mungkin lelaki itu hanya butuh sedikit kesabaran. Ya, seperti mantan-mantan yang tidak langsung menerimanya, Slavia hanya butuh rasa sabar dalam mengatasi mereka. Seperti nama belakangnya yang berarti singa, pria itu akan mengintai mangsanya dengan tenang.
Niatnya, sih, begitu.
Tapi, sepertinya kali ini ia menargetkan mangsa yang salah.
Mangsa yang juga tak pernah peduli apakah sang singa mau memakannya, mangsa yang tetap tenang dan menolak dengan sopan ketika singa tersebut menawarkannya untuk dimakan. Mangsa yang suatu hari akan pergi dengan tenang, tanpa pernah dimakan.
Hal itu membuat Slavia kesal.
"Oh!" Pekikan Illiana membuat pria itu tersentak dan menoleh.
"Issa bilang dia udah baikan sama Malik. Puji syukur, deh, soalnya belakangan ini dia kerjaannya bengong mulu. "
Slavia mengedip dua kali.
Kalau dipikir-pikir, enak ya, punya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tak akan ada yang melihat mereka dengan tatapan aneh, jijik, atau berpura-pura; kehidupan mereka akan dipenuhi senyuman di wajah banyak orang. Selama ini Slavia selalu mengira Clarissa menyukai perempuan, sehingga ia merasa punya teman.
Kalau begini, apa boleh buat.
"Besok si Issa mau ngajak kita makan-makan. Sama kakak dan temen-temen pacarnya."
Lelaki itu mengeluarkan suara tak minat. Slavia bukan tipe yang suka dengan pertemuan keluarga, atau apalah itu bahasanya. Lebih seru nongkrong bareng teman.
Namun detik berikutnya, pria itu kembali menoleh pada adik perempuannya.
Kakak dan ... teman-temannya?
Berarti ... ?
"Oh ya, katanya juga ada satu dokter-"
"Damar!" jeritnya, heboh. Illiana kaget, lalu memasang tampang keki karena ucapannya terpotong.
"Iye."
"Yes!"
Masih dengan mata yang bulat, lelaki itu mengukir senyum senang dan bersorak riang di balik meja. Apapun yang bisa membuatnya bertemu dengan Damar, mampu menimbulkan rasa sukacita di dadanya.
Illiana terkekeh. Wanita itu menggelengkan kepala, tetapi juga diam-diam ikut senang karena melihat saudaranya yang sebahagia itu. Ia berbalik mengambil berkas dan dokumen yang akan diarsipkan, lalu berjalan keluar meninggalkan Slavia yang masih berbunga-bunga.
Saat meraih daun pintu, Illiana berbalik menatap sang kakak.
"Dandan yang ganteng, ya, besok. Fine dining, soalnya. Duduknya berdua-berdua."
FIN.
KAMU SEDANG MEMBACA
centimeters (COMPLETED)
General Fiction"149 cm Malik dan 191 cm Clarissa, seperti apakah hubungan mereka dimulai?" ••• Pemilik rambut krem sepunggung itu tersenyum bodoh, sedangkan si penggemar jaket jeans hanya bisa mendengus setiap kali melangkahkan kaki. Mendambakan hidup yang menyena...