21 - Helianthus: Aeternum

4.2K 418 10
                                    

Viginti unum punctum nulla: together become the axis of life

__________

Ternyata tanpa kehadiran laki-laki itu atau sedikitnya tidak melihat wajahnya sehari, membuatku hampir frustrasi. Hari ini aku benar-benar dibuat kacau karena dokter Hisyam yang pergi ke luar kota sejak pagi buta.

Bahkan dia tidak pamit atau sekadar meneleponku. Hanya meninggalkan secangkir kopi dengan sticky note yang bertuliskan, "selamat pagi, cantik. Have a nice day for you". Hanya dua kalimat itu.

Sekarang hampir pukul delapan malam. Dia mengirimku sebuah pesan beberapa menit lalu jika sepulangya dari luar kota, ia tidak bisa langsung pulang karena ada operasi cito di rumah sakit.

Aku mendengus, padahal rencananya malam ini aku ingin mengajaknya ke rumah untuk makan malam.

Menyebalkan!

Aku pun terpaksa menekuri tumpukan-tumpukan jurnal di meja ruang tamu. Tidak ada yang lebih membosankan dari pekerjaanku sekarang. Tapi, apalah daya ... aku juga sudah mager untuk bergerak keluar apartemen. Apalagi pulang ke rumah, jadi biarlah. Nanti kalau bunda menelepon tinggal menjawab saja jika aku malas pergi.

Oh ya ... by the way, dua hari lalu ada sebuah chat masuk di ponselku. Tanpa nama, jelas karena itu nomor baru. Profilnya adalah seorang perempuan yang berfoto di Leiden Canals. Salah satu spot foto terbaik di Amsterdam, Belanda.

Perempuan itu hanya, mengirim satu kalimat singkat. Menanyakan kabarku, tepatnya.

Sebenarnya aku tidak ingin membalasnya, atau karena lebih ke enggan mengetikkan jawaban. Tapi, entah mengapa aku membalas pesan itu. Aku hanya ingin tahu, siapa gerangan yang mencoba mengangguku.

Dia persis dengan dokter Hisyam, merespon pesan yang nyaris membutuhkan waktu sehari. Dia mengirim pagi, lalu aku membalasnya pagi itu juga. Dan selanjutnya, baru dibalas keesokan harinya.

Tapi, sore tadi aku tidak lagi heran dengannya, setelah mendapat balasan mengenai siapa dia. Aku berdecak kesal, ternyata dia adalah Aster.

Aku tebak, pasti Tante Dama lah yang memberikan nomorku padanya. Dokter Hisyam mana mungkin memberikannya tanpa bertanya dulu padaku.

Terlalu fokus membaca lembaran jurnal ilmiah. Aku berjengkit kaget kala seseorang menepuk pundakku tidak biasa.

"Serius amat anak bunda," celetuknya.

"Iih Bunda ngagetin!" Aku mencebik kesal menatap bunda.

"Bunda tuh tekan bel beberapa kali, tapi nggak dibuka-buka. Bunda kira kamu masih di rumah sakit, jadi ya terobos aja," kilahnya merasa tidak bersalah.

Bunda berjalan cepat ke arah dapur. Seperti biasa, ia menaruh barang bawaannya lalu menyusunnya di dalam kulkas.

"Bunda buatin dimsum, puding, terus ada rendang juga tinggal angetin. Nanti kalau Hisyam pulang suruh nyobain yaa," kata bunda seraya menaruh sekotak siomay ke kulkas.

Mulai sekarang, dokter Hisyam tuh udah cosplay jadi anak kedua bunda. Hampir tiap hari yang ditanyain cuma seputar laki-laki itu. Aku sampai bosan sendiri mendengarnya.

Aku melangkah mendekati bunda lalu membantunya menaruh sisa-sisa makanan.

"Kamu gapapa kan Sayang?"

Keningku mengerut. "Kenapa? I'm okay."

Bunda mengelus puncak rambutku. "Ya sudah, kalau ada apa-apa cerita ya. Kalau nggak mau cerita ke bunda atau ayah, bisa ke Hisyam aja. Jangan dipendam sendiri, nggak baik," tutur bunda lembut.

Helianthus: Aeternum [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang