Quindecim punctum nulla: I think I like him
____________Jangan berpikir kamu sendiri, karena sebenarnya kamu tidak sendiri. Kamu berdiri bersama mereka yang menyayangimu tanpa harus kamu tahu bagaimana cara mereka menyayangimu. Jangan membandingkan kebahagiaanmu dengan orang lain. Setiap orang punya takaran bahagia masing-masing.
Manusia punya caranya sendiri untuk menyalurkan rasa sayang mereka. Ada yang melewatkannya dengan kata-kata, ada juga yang lebih menyukai adanya tindakan tanpa banyak pembicaraan. Atau ada juga dari mereka yang hobi memberikan sesuatu.
Mungkin bisa dikatakan seperti love language para pasangan di luar sana.
Dan sebenarnya kamu juga tak perlu balasan kebaikan mereka— yang menerima kebaikanmu— seperti harapanmu. Cukup dirimu, cukup kamu yang melakukan itu dengan tulus.
Ada banyak seseorang yang tulus di dunia ini, tulus mendengarkan keluh kesahmu dan tulus menerimamu masuk lebih dalam untuk mengorek hidupnya. Tinggal kamu saja yang pandai atau tidak mencari sosoknya.
"I'll try it. I'll try to be okay," kata dokter Hisyam lemah.
Aku membalas rengkuhannya, menepuk bahunya untuk sedikit menyalurkan ketenangan pada hatinya.
Aku tidak tahu jelas masalah laki-laki ini, aku juga tidak ingin bertanya untuk mengetahuinya. Jika mungkin, biarkan dia sendiri yang mengatakannya. Sampai dia benar-benar memang harus membaginya.
Satu hal yang membuat hatiku sedikit bergemuruh. Aster, telingaku sedikit tidak asing dengan nama itu. Seperti ada memori kecil mengenai nama yang terlontar dari bibir dokter Hisyam beberapa saat lalu di kepalaku. Nama Aster memang tidak hanya satu orang yang memilikinya, jadi aku tak perlu mempermasalahkannya. Mungkin saja, dia adalah sosok yang dicintai dokter Hisyam? Iya, mungkin saja.
Entahlah!
Setelah beberapa menit kami merapatkan tubuh kami, dokter Hisyam mengurai pelukannya. Ia menatapku, lalu menyunggingkan senyum tipis sebelum berdiri.
"Thank you, kamu lanjutin kerjaanmu. Aku harus prepare untuk ngisi seminar, nanti malam tunggu aku selesai operasi," ujarnya sembari mengusap puncak rambutku kemudian berlalu pergi.
Aku terpaku di kursi dengan pandangan yang ... bingung. Tanganku bergerak mengusap dada sebelah kiriku. Sial! Reaksi apa ini? Mengapa jantungku terpacu lebih cepat dari biasanya. Dan, pipiku ... panas sekali, oh astaga! Sadar Mecca! Sadar!
"Mecca woy! Ke ruangan dokter Hadi," teriak Amy padaku dari arah belakang.
"Hah iya! Duluan aja!"
"Ok, cepetan!" Amy berlalu lebih dulu. Sedangkan aku malah sibuk menepuk-nepuk kedua pipiku yang terasa lebih panas.
Ku hirup udara rakus lalu menghembuskannya perlahan. Aku mengulanginya hingga beberapa kali. Usai merasa tenang, aku baru memacu kaki berlari menyusul anak-anak.
Sampai di ruangan dokter Hadi, semua anak koas anestesi sudah duduk di sekeliling sofa yang tersedia di sana. Wajah mereka tidak ada yang tegang sama sekali, semuanya terlihat santai ... apa itu karena sekotak pizza dihadapan mereka?
Oh ayolah!
Tapi, memang harus bersyukur dapat pembimbing seperti dokter Hadi. Ramah, suka berbagi ilmu, dan tentunya juga... makanan.
Aku mengambil duduk di sebelah Jul. Ceritanya ini adalah bimbingan pertama kami. Jadi, ya siap-siap saja akan mendapatkan sedikit pemanasan mengenai anestesi.
"Mecca!" panggil dokter Hadi dengan suara bassnya.
"Iya dok."
Netra dokter Hadi mulai memicing menatapku. Yaelah... alamat aku yang jadi sasaran pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Dragoste"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...