Viginti duo nulla punctum: new member between them
___________
“Jul, pasien tadi tolong lo observasi ya sama Risa, dari dokter Hisyam.”
“Okay. Btw, lo mau langsung balik? Ke cafeteria bentar yuk anterin gue.”
Enak aja!
Tanganku kontan melayang memukul bahu Jul. “Manja deh. Gue ada urusan sama dokter Hisyam,” kataku sembari menenteng tas alkesku.
“Bukan urusan kali, ngedate yang bener.” Jul mencibirku dengan malas.
Yeah! As you can see. Tapi, enggak juga ngedate sih ini ceritanya.
“Gue duluan ya, kasih tahu yang lain tolong. Bye!”
Aku lantas segera bergegas meninggalkan ruang koass menuju lobby. Operasi selesai tepat pukul sepuluh malam, sekitar setengah jam lalu. Kemudian, aku melakukan follow up beberapa pasien sampai pukul sebelas malam.
Sebenarnya bukan waktunya juga sih memfollow up di tengah malam seperti ini. Hanya saja, memang ada satu dua pasien yang membutuhkan observasi lanjut.
Oke. Sesuai perkataan dokter Hisyam kemarin yang akan membawaku untuk menjemput adiknya, jadi sekarang kami akan pergi ke bandara.
Kemungkinan, Aster akan sampai sekitar pukul setengah dua belas. Aku tidak mengerti kenapa perempuan itu mengambil penerbangan malam, tapi sungguh dia sepertinya memang sengaja melakukan itu.
Aku sampai di lobby, suasana tentu cukup sepi. Hanya ada dua resepsionis dan dua satpam yang bertugas di depan pintu.
Dokter Hisyam mungkin masih ada sedikit urusan, jadi aku memutuskan untuk menunggunya di kursi tunggu.
Tidak ada hal yang lebih gabut selain dari menunggu, menscroll media sosial dan membuka-tutup room chat aku lakukan. Nahasnya sampai di menit lima belas manusia bernama Hisyam itu belum juga menampakkan hidungnya.
Apa mungkin aku ditinggal?
Atau mungkin dia lupa?
Ya masa sih lupa.
Terpaksa aku mendial nomornya. Panggilan pertama hingga ketiga tidak juga diangkat. Aku berdecak kesal, ingin sekali mengikat ponselnya di leher laki-laki itu.
“Iih, bikin orang kesel aja. Nggak tau ini udah kedinginan apa,” gerutuku sebal sembari terus menspam chat dia.
By the way, ini aku hanya menggunakan tank top dan cardigan crop. Jangan salahkan aku yang memakai pakaian ini, karena aku juga terpaksa harus memakainya.
Sewaktu jaga tadi aku menangani seorang pasien kecelakaan. Pasien itu mengalami pendarahan hebat hingga membuat kemeja hitamku penuh dengan bercakan darah. Pikirku tadi, aku akan berganti usai operasi. Tapi ternyata, aku sendiri tidak tahan dengan bau anyirnya. Jadilah Diana meminjamkan pakaian ini padaku.
“Mbak, nunggu siapa?” tanya resepsionis di depanku.
Aku mendinggakkan kepala melihatnya. “Dokter Hisyam,” jawabku dengan nada sedih.
“Dokter Hisyam? Saya lihat udah keluar rumah sakit dari tadi,” kata resepsionis itu.
Seketika mataku langsung melotot menatapnya. “Seriusan Mbak?”
Resepsionis itu mengangguk. Bersamaan itu bahuku mengendur, wajahku berubah lesu dan kecewa.
Mungkin ada keadaan darurat. Jadi, ya udahlah ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Romance"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...