Sedecim nulla puncta: he started it, he was the first to express his feelings
___________"Segini?" tanyaku pada dokter Hisyam usai menaruh secentong nasi di piringnya.
Kepalanya mengangguk. Pun dengan aku yang cepat-cepat menghidangkan sepiring nasi dengan nugget dan ayam goreng itu dihadapannya.
Pagi yang cukup mengejutkan untukku. Di jarum jam yang masih terdiam di antara angka lima dan enam, dokter Hisyam muncul di depan unitku. Pakaiannya bisa dikatakan santai, kaos hitam dan training abu. Kemudian tangannya menenteng sebuah rantang, yang ternyata berisi nugget dan ayam goreng.
"Bisakah aku menumpang sarapan? Aku bawa masakan ibu, tapi enggak ada nasi," ucap laki-laki itu beberapa menit lalu. Sekarang dia sudah terduduk manis di ruang makanku.
Menyebalkan! Ini adalah sarapan terpagiku sepanjang menjadi anak koass.
Katanya, dia kelaparan karena kemarin malam tidak terlalu menyuap nasi. Dan malah mendengarkan rentetan cerita adiknya-Devina. Benar, calon istri Calvin itu adalah adik dari dokter Hisyam.
Benar-benar sempit dunia ini.
Tidak ada yang lebih mengejutkan dari pada kenyataan itu. Bahkan, aku sampai dibuat melotot berkali-kali, kala dengan seenaknya Devina memeluk dokter Hisyam ... like a girlfriend not a sister.
Dan yang paling membingungkanku lagi adalah tempat tinggal keluarganya, yang di mana anggota keluarganya berpencar satu sama lain. Devina, dia kan adiknya ... mengapa tidak tinggal serumah dengan Tante Dama-nama ibu dari dokter Hisyam, aku baru mengetahuinya tadi. Lalu ada lagi, anggota keluarga lain yang aku ketahui ayahnya malah memilih menetap di Jerman.
Wow! It's a long story about his family.
Kami makan dengan kebisuan satu sama lain, tidak ada percakapan sedikit pun sampai kami selesai makan. Dokter Hisyam yang lebih dulu menghabiskan sarapannya lantas membawa piringnya ke wastafel, mencuci lalu menaruhnya di rak piring.
Begitu dia mendudukkan kembali dirinya di kursi seberangku, bergantilah aku yang beranjak berdiri mencuci piring kotor.
Aku tahu, dia mengamati setiap pergerakanku di dapur. Dan aku juga tahu jika dia amat gelisah menungguku menyelesaikan aksi mencuci piring yang sengaja aku buat lama.
Sadar kek kalau aku tidak ingin mengusirnya. Maka dari itu, seharusnya dia sendiri yang segera pergi. Bukan malah duduk santai seperti di rumahnya.
"Ca, kamu enggak mau ngomong sesuatu?" katanya pelan.
Shit!
Aku mengumpat kesal saat nama panggilanku darinya seperti alunan piano yang menenangkan.
Kepalaku yang tadinya sibuk menatapi piring, kini berputar menatapnya sekilas. "Apa yang perlu di omongin memang dok." Aku menjawab dengan nada sebiasa mungkin.
"Kamu harusnya marah, atau setidaknya ngomel kalau sebenarnya Devina itu adalah adikku."
Piring kotor yang sudah aku basuh, aku menaruhnya di rak piring kemudian melangkah mendekati dokter Hisyam.
"Memang kalau aku ngomel semuanya akan berubah? Enggak kan? Lagian kenapa aku harus mempermasalahkan itu."
Dan ya, siapa pula diriku berhak mengomel padanya.
Dokter Hisyam mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah kalimat yang aku lontarkan tadi memang benar menurutnya.
"Tapi, ada hal yang ingin aku tanyakan," ujarku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Romance"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...