Septem punctum nulla: all is well, all ends well
______________Apa yang paling dekat dengan manusia? Sehingga manusia tidak akan mampu menjauhi atau berlindung di antara benteng sekali pun. Right, kematian. Sesuatu yang paling aku sulit terima, apa lagi di depan kedua netraku sendiri. Aku sungguh membencinya, di mana diriku selalu hilang kendali untuk tidak terlalu terbawa perasaan atau berpikir negatif.
Semuanya terasa sunyi dan gelap, aku bak satu-satunya manusia yang berdiri kaku di tengah pulau tanpa hawa kehidupan. Otakku memaksaku berkeliling membayangkan apapun yang mungkin itu tidak pernah terjadi.
Hobi memposisikan masalah, duka, pengorbanan, dan takdir seseorang adalah diriku. Aku bahkan tidak tahu pasti sejak kapan ini terjadi denganku. Tapi, sejak kecil aku selalu seperti itu. Aku tahu ada kilas balik yang menyakitkan yang pernah terjadi dengan diriku, sehingga aku selalu terjun bebas kembali pada masa itu. Dan aku selalu putus harapan untuk kembali mengingatnya, sekeras apapun aku berusaha selalu gagal. Aku seperti dipaksa untuk melupakan segalanya.
Pukul sebelas lebih dua puluh menit, seorang pasien laki-laki berusia enam puluh tahunan menderita Coronary Heart Disease dinyatakan meninggal dunia setelah dua jam pasca CABG. Operasi itu langsung dioperatori oleh dokter Farhan -Kepala Divisi Bedah Toraks dan Kardiovaskuler. Sialnya, aku juga turut serta dalam operasi itu, operasi yang memakan waktu hingga lima jam.
Aku menjambak rambutku frustrasi di luar ICU. Mengutuk diriku sendiri yang seperti orang gila. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, kedua tanganku juga meremas menghalau rasa gemetar.
Holy shit!
"It's okay Mecca. Keluarga pasien sudah cukup tenang, dan saya berterimakasih karena bersedia mengasisteni saya. I think you should to break." ujar dokter Farhan, tapi lebih menunjukkan kalau dia sedang mencoba membuatku tenang. Dia menepuk bahu sebelah kiriku lalu mengusapnya sebentar.
Aku mengulum senyum tipis -paksa maksudnya pada dokter Farhan. Setelahnya laki-laki yang aku rasa sedikit lebih tua dari ayah itu berlalu dari pandanganku.
Beberapa kali aku menekan dadaku atau memukul-mukulnya, berniat menghilangkan sesak yang ada. Menarik napas dalam-dalam kemudian beranjak keluar dari ICU menuju ruang koas.
Tepat di depan ruangan koas, berdiri sosok yang sedari pagi tadi tidak aku temui batang hidungnya. Dia tersenyum padaku sembari menegakkan tubuhnya yang menyandar dinding.
"Dok, ngapain?" Aku bertanya begitu sampai dihadapannya.
"Ikut deh!"
Dokter Hisyam menarik tanganku untuk mengekori langkahnya. Entah, dia ingin membawaku ke mana, yang pasti bukan untuk meredakan emosiku saat ini.
Langkahnya terasa cepat kala berada di koridor yang memisahkan antara gedung RS dan gedung VVIP. Dia ini kenapa sih? Tumbenan pula muncul di tengah malam seperti ini.
"Ini kita ke mana Dok?" tanyaku di sela pergerakannya. Tanpa bersalah kedua tangan kami masih saling bertaut.
Aih sialn
"Jenguk pasien," jawab dokter Hisyam singkat.
HAH?!
Dia melepas tangannya dari tanganku. "Masih ingatkan? Pasien yang aku operasi beberapa minggu lalu, Volvulus midgut."
"Iya, kenapa?"
"Besok dia udah mau dibawa pulang, saya cuma mau kamu lihat dia sebentar."
Masih dengan keloadingan otakku, untuk berusaha mencerna kalimatnya. Namun sialnya, langkah kami sudah berhenti tepat di dalam ruangan VVIP itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
عاطفية"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...