Triginta nulla puncta: the breakup is real
_________
Kematian.
Tuhan begitu baik menyelipkan titik-titik kebahagiaan untuk manusia di sela kehidupan dan kematiannya. Membawa satu persatu alasan agar manusia mampu bertahan atau setidaknya pura-pura tersenyum pada dunia. Dia juga teramat baik padaku, mengirim salah satu ciptaannya untuk menemani dan menghalau rasa perihku selama ini. Dan aku berterima kasih untuk itu.
Andai dunia ini abadi layaknya Tuhan, mungkin manusia akan enggan memikirkan masa depan. Toh, mereka tahu jika semuanya tak akan berakhir. Akan tetapi, itu mustahil. Itu hanya sebuah angan yang tidak akan terwujud.
Aku bersyukur bertemu dengan laki-laki ini, laki-laki yang mampu melebarkan senyumku tanpa alasan dan yang mampu membuatku lebih mencintai diri sendiri.
Dia mungkin bukan laki-laki pertama yang aku temui sebagai laki-laki yang menyayangiku dengan tulus. Melainkan, dia adalah laki-laki pertama dan terakhir yang selalu aku sebut di setiap harapanku pada Tuhan.
Aku mencintainya, tanpa sebab dan tanpa alasan.
Jikalau Tuhan egois mengambilnya dariku. Maka, aku akan lebih egois mempertahankan namanya di sudut hatiku.
Di tanah merah kecoklatan ini, cinta, sayang, dan sebagian kehidupanku telah terkubur. Pun bersama dia yang menciptakan semua itu.
Royyan Hisyam Ramadhani.
“Syam ... aku tahu, mungkin ini adalah cara Tuhan membawa kita pada ruang perpisahan yang menyesakkan. Tapi, aku juga tahu kalau cinta Tuhan sungguh lebih besar dari pada aku. Aku selamanya akan mengingatmu, mengingat semua momen yang sudah kita ukir bersama waktu dan semesta. Momen yang telah kamu ciptakan untuk selalu membuatku satu langkah lebih bahagia dari bahagiamu. Di sana, kamu pasti melihatku ... kamu pasti merasakan sentuhanku. Bahagia terus ya Syam, aku cinta kamu.”
Rentetan kalimat itu mampu menahan oksigen untuk masuk ke dalam rongga pernapasanku dalam beberapa saat. Rasanya begitu perih, sesak, dan menyakitkan. Lebih menyakitkan saat dunia tidak ada yang berpihak padaku.
Seiring dengan dirinya yang pulang ke pangkuan Tuhan, tangisku terasa berat untuk sekadar berhenti. Aku belum mampu ikhlas.
“Mecca, ayo kita pulang Sayang!” ajak ayah menyentuh kedua bahuku. Namun, aku tetap bergeming dengan posisi memeluk nisan Hisyam.
Ayah juga belum mempercayai ini semua. Ia ikut bersimpuh di samping dan memelukku. “Sayang, Hisyam pasti bahagia banget. Dia pernah jadi bagian dari lembaran hidupmu. Sedikit demi sedikit, kamu harus menerima ini. Menerima kepergiannya dengan ikhlas.”
“Kenapa Tuhan ... kenapa Tuhan ambil dia dari aku. Aku mau dia sampai akhir detak jantungku, aku mau sama dia Ayah.” Lagi, air mataku berderai tanpa diminta. Ayah mengeratkan pelukannya dan menghujani kecupan di puncak rambutku, persis seperti yang Hisyam selalu lakukan.
“Sudah Sayang, ini adalah takdir. Takdirmu dan takdir Hisyam. Ini juga bentuk cinta dari Tuhan untuk membuatmu lebih kuat lagi.”
“Bukannya sekarang Tuhan jahat banget Yah, dia ambil Hisyam tapi dia juga ambil sumber kebahagianku.”
“Nggak. Itu nggak bener, udah ya ... kita pulang sekarang. Biarin Hisyam istirahat tenang di sana.”
***
Sampai di rumah, keadaan sama sekali tidak membuatku baik. Semuanya masih penuh dengan air mata. Tak terkecuali oma yang notabanenya jarang bertemu Hisyam.
Tante Dama, Om Daniel, Aster, Devina, dan beberapa teman-teman setia bersimpuh di ruang tamu rumahku.
Iya rumahku. Prosesi pemakaman Hisyam dilakukan di rumahku, bukan apa-apa tapi Hisyam sendiri yang memintanya. Dia masih sempat merekam suara lemahnya sebelum di titik akhir napasnya.
Pertama saat mendengar suara lembutnya aku tersenyum tipis, dan beberapa detik kemudian berganti dengan tetesan air mata.
“Halo, my princess. Maaf, maaf membuatmu menunggu lama. Maaf juga karena aku terlambat. Sayang ... aku tahu kamu akan menangis, aku tahu kamu akan bersedih meratapi diriku jika gagal bertahan. Tapi, kamu harus tahu satu hal ... kalau aku sama sekali nggak mengingikan itu. Aku mau kamu senyum saat aku pergi, sebagai alasan kalau kamu sungguh bahagia menghabiskan sisa waktuku dengan tawa. Aku boleh minta satu hal sebelum aku benar-benar pergi? Aku mau di dekatmu, aku mau kamu yang menemaniku di sisa waktuku, aku mau rumahmu. Di mana di sana kita pertama kali bertemu. Kamu harus tetap bahagia, I love you so much.”
Kalimat-kalimat yang ia lontarkan bagai duri tajam yang menghunus tepat di dadaku. Nadanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan sedih, dia terkesan lega mengucapkannya.
“Sayang ... kamu istirahat dulu. Cuci muka dan ganti baju. Nanti bunda suruh bibi anterin makanan,” ujar bunda sembari mendekapku sesaat. Dia mengusap pelan pipiku kemudian berlalu pergi.
Aku menurutinya. Menaiki anak tangga dengan enggan menuju kamar. Sampai di dalam ruangan itu, aku kembali membisu. Menatap sekeliling kamarku yang entah mengapa terasa sangat hening dan sunyi.
Kosong.
Kamar ini layaknya hatiku yang selamanya akan selalu merasa sesak. Aku membenci ini, aku benci sendiri. Dan aku lebih membenci diriku, mengapa aku harus merelakan seseorang yang seharusnya tak akan pernah aku relakan.
Tanpa mengganti pakaianku atau membersihkan diri yang super berantakan, aku memilih duduk di sofa mengamati beberapa orang dengan pakaian serba hitam yang keluar masuk melalui jendela kamarku.
“Lihat Syam, ada banyak orang yang sayang sama kamu. Mereka pasti mencintai sikapmu yang santun dan penyayang. Harusnya kamu enggak pergi secepat ini Syam,” gumamku tidak jelas.
“Syam!?”
“Mecca!?”
_________________
See you di hari Minggu, insyaAllah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Romance"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...