Decem punctum nulla: I'm alone, dark and lonely
_____________"Lo sekarang makin nempel ya sama dokter Hisyam, cielah ada apa-apa ini pasti. Atau jangan-jangan kalian emang dijod-"
Pletak!
Mulut Jul ini memang rada sialan. Aku melayangkan tangan memukul kepalanya. "Ngomong lagi? Gue staples bibir lo."
"Tapi semua anak-anak kemarin juga pada tahu Mecca, kalau lo pelukan sama dokter Hisyam. Prof. Bram pun sampe ha-hi-hu-he-ho ngeliat kalian," tandas Amy menggebu-nggebu.
Americano yang baru ku seruput seketika berubah seperti duri ikan. Apa tadi? Prof. Bram -dokter bedah syaraf senior melihatnya?
Oh God!
Aku harus bicara empat mata sepertinya dengan dokter Hisyam. Kejadian tiga hari lalu memang masih terasa ambigu di otakku. Bisa-bisanya dia berlaku seperti itu, di depan banyak orang pula.
Parahnya usai kelakuannya yang memelukku dia langsung pergi dan tidak menampakkan mukanya sama sekali, kecuali saat aku ujian dua hari lalu. Benar-benar seperti lenyap dari semesta ini. Kendati demikian, efeknya masih terasa padaku. Tubuhku yang ku paksa untuk keluar guna mencari udara segar pun, tetap saja akhirnya stuck di satu nama dan aroma miliknya, Terre d'Hermes.
Kalimat yang dokter Hisyam katakan beberapa hari lalu mampu membuatku seratus persen stress, kemudian aksi memeluknya yang ... oh jantungku hampir saja keluar dari tempatnya.
Kami sekarang -para anak koas sedang berkumpul ria di salah satu restoran di mall. Ceritanya sih lagi menjernihkan pikiran karena besok akan rolling ke stase berikutnya. Tak urung begitu aku hampir melupakan sesuatu, ya aku akan rolling di stase anestesi yang kalian tahu artinya berarti aku tidak akan jauh-jauh lagi dengan OR. Dan tidak bisa dipungkiri juga kalau akan sering berinteraksi dengan dokter Hisyam.
Darn you, Mecca!
Aku menatap kosong sekelilingku, hampa. Restoran yang sedang kami tempati sekarang sebenarnya tidak berada di dalam, melainkan berada di luar -tapi masih lingkup mall jadi kami bisa melihat kendaraan berlalu lalang dari luar. Tentunya juga menyaksikan dengan jelas pergerakan manusia yang ke sana-ke mari, seperti detik ini, tunggu! ... kedua netraku menangkap perempuan paruh baya yang nyasar di depan apartemenku kemarin.
I didn't see wrong, right?
Apa yang dilakukan ibunya dokter Hisyam di sana?
Entah apa alasannya tubuhku seperti diremot untuk bergerak cepat dan membantunya membawa barang-barang yang tergeletak tak berdaya di sisi dia berdiri.
"Guys! Gue cabut duluan, ada urusan mendadak. Billnya nanti kirim ke gue, biar gue transfer." Aku menyambar cluth dan ponselku di meja dengan cepat.
Tanpa mendengarkan sanggahan mereka, aku langsung berlari menyeberang jalanan dan meraih dua kantong kresek besar.
"Loh ... Mecca yaa? Kok bisa di sini?" katanya terkejut memandangku.
Aku memgangkat dua kantong kresek itu lalu berdiri. "Tadi lagi jalan Tante, terus enggak sengaja lihat Tante di sini. Biat Mecca bantu bawa ya, Tante tadi naik apa? Taksi?"
"Oh enggak usah, kamu lanjutin aja jalan-jalannya. Tante bisa kok."
"It's okay, Mecca sekalian mau pulang. Jadi, bareng aja ya." Aku tetap bersikukuh memaksanya.
Ibu dokter Hisyam lantas tertawa dan mengiyakan ajakanku.
Karena mobilku yang terparkir di basement mall, jadi kami terpaksa berjalan bersama ke sana. Hari ini aku tidak melihat taut muka bahagia di wajah dokter Hisyam seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Romance"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...