Undecim punctum nulla: my heart might start to move
____________Aku mengerjapkan mata pelan, mencoba menetralkan pandanganku yang terasa amat terang. Ku pejamkan kembali kedua netraku lalu membukanya penuh, mengedarkan bola mata ke sekeliling arah.
"Sejak kapan?" ujar seseorang sembari menyodorkan segelas air padaku lalu membantuku duduk bersandar.
Aku memandangnya sekilas sebelum meneguk segelas air itu hingga tandas.
Dokter Hisyam mengembalikan gelas itu ke atas nakas. Aku berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan tajamnya. Atensiku lalu beralih pada lengan kiriku yang sengaja aku sayat tadi berganti perban dengan obat merah, bukan lagi plester.
How did he get here?
Kami terdiam hingga beberapa menit. Aku yang menatap kosong ke depan dan dia yang tetap memfokuskan bola matanya padaku. Tak sedetik pun berpaling ke arah lain.
"Lihat aku sekarang!" katanya lemah tapi bernada tegas.
Aku? Sejak kapan dia dengan mudah mengganti sapaannya.
Aku tetap diam. Aku terlalu takut menatap matanya. Dia bisa saja akan memarahiku atau menyerapahi diriku yang dengan seenaknya melukai diri.
"Lihat aku Ca!" Dokter Hisyam menarik daguku untuk menatapnya.
"Maaf, aku minta maaf kalau nyakitin kamu. Aku nggak bermaksud seperti itu, aku cuma enggak mau kalau kamu merasa nggak nyaman dengan sikapku kemarin yang tiba-tiba. ."
Padahal jelas, kalau aku bersikap seperti ini karena Calvin ... dia lebih mendominasi. Ya walaupun tingkah dokter Hisyam tadi juga sempat menggangguku. I'm worried, and not sure why I did that.”
Mendengar rentetan permintaan maaf dokter Hisyam, mataku kembali perih dan berair. Tak perlu beberapa kedipan, karena satu kedipan pun mampu meloloskan genangan air itu. Aku menangis dihadapannya, tepat di depan wajahnya.
Dia menarikku ke dalam pelukannya, persis seperti tempo hari lalu. Aroma seseorang yang pertama kali membuatku candu, dan kehangatan tubuhnya yang tidak pernah aku dapatkan selain dari dia. Kini aku mendapatkannya, aku menemukan tempat ternyaman untuk meruntuhkan segala kesedihan dan ketakutanku ... selain Calvin.
Bisakah aku percaya dengan laki-laki ini? Entahlah.
Tangan dokter Hisyam bergerak menepuk bahuku pelan dengan aku yang setia memejamkan mata meloloskan semua kekesalanku di benakku.
"Sekarang ada aku, kamu boleh katakan apapun sama aku. I'm here, and I hope you'll share all your stories with me,” katanya lirih.
Setelah sekian menit berlalu, aku mulai melepaskan pelukan itu. Pandanganku menelusuri setiap inchi wajahnya. Kulit langsatnya, rahang yang tegas, mata tajamnya, tidak satu pun aku melewatkan bagian terindah darinya.
Apa yang terjadi denganku sekarang? Apakah aku sudah hilang kewarasan karena kehadiran laki-laki ini? Tapi di lain sisi aku cukup tenang saat dia berada di dekatku.
Sikpanya memang terkadang membuatku bingung, seolah dia seorang bipolar yang memiliki perubahan suasana hati secara anjlok. Kadang bisa sedingin es dengan kata-kata tajam, kadang juga bisa selembut sutra dengan kata-kata manis. Ketahuilah, saat dia berada di OR suasana di sana sekejap berubah tegang dengan hawa yang dingin. Tatapannya juga menjadi tajam, memfokuskan netranya pada pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Romance"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...