Viginti octo punctum nulla: in the end, we're happy
_________
Pagi yang amat menyegarkan sekaligus juga menegangkan. Ini adalah beberapa minggu setelah aku menyelesaikan UKMMPD ku atau Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter. Ujian dari negara untuk seluruh calon dokter agar mendapatkan gelar dokternya.
Aku cukup yakin dengan jawaban-jawabanku, namun tetap saja aku juga merasa gelisah mengenai hasilnya. Benar-benar tidak lucu kalau sampai aku tidak lulus dan mengulangnya kembali. Mau ditaruh mana citra orang tuaku, ya walaupun mereka pasti merasa fine-fine saja.
UKMMPD itu amat sangat menguras tenaga, aku hampir menghabiskan satu hariku hanya dengan belajar dan belajar. Bahkan, seringkali aku membuntuti dokter Hisyam sampai ruangannya demi mendapat pemandangan bagus dari wajahnya dan aku bisa lebih berapi-api mengerjakan latihan soal.
Alias, nyari penyemangat eaaaak.
Maksud dari menegangkan saat ini adalah karena hari ini pengumuman kelulusan ujian. Dan sejak kemarin, aku mewanti-wanti dokter Hisyam untuk datang ke apartemen sebelum jam pengumuman tiba.
Jaga-jaga andai aku tidak lulus, aku tidak mau menangis seorang diri. Harus ada dia yang sedia tisu dan pelukannya.
As you can know, sekarang dia sudah muncul di unitku. Like a my partner.
“Makan dulu Ca, laptopnya nggak usah dipantengin terus,” katanya seraya mengusap rambut setengah basahnya dengan handuk.
Lama-lama unitku bisa jadi unitnya juga. Dia mandi dan makan sesuka hatinya.
Kepalaku mendongak meraih pandangannya. “Nggak napsu. Jantungku sekarang rasanya kayak loncat-loncat.”
Dokter Hisyam menarik bibirnya ke atas lalu mengecup singkat keningku dan mendudukkan dirinya di sampingku. “Sini, aku suapin.”
“Nggak. Belum laper, nanti aja.”
“Jadi ke galeri nggak?” katanya mengancam.
Mataku kontan mendelik. “Kok gitu, kayak anak kecil aja,” sanggahku tidak terima dengan bibir mengerucut.
Selain sering skinship, dokter Hisyam ini juga suka menawarkan untuk pergi jalan-jalan bersama. Dan contohnya adalah sekarang, dia kemarin mengatakan kalau malam ini tidak ada jadwal operasi. Jadi, dia berencana mengajakku ke galeri seni.
Katanya sih sebagai bentuk apresiasi belajarku yang udah ngoyo selama ini. Dari pada membelikan sesuatu yang mungkin nanti bisa rusak atau hilang, dia lebih memilih menghabiskan waktu berjalan-jalan. Menyusuri berbagai tempat yang memang jarang atau bahkan tidak pernah aku kunjungi.
“Ya kamu itu anak kecilnya Ca ...” Dokter Hisyam meraih kedua bahuku membuatku menghadapnya. “... Percaya sama aku, kamu pasti lulus. Nggak ada alasan kamu nggak lulus.”
Mataku serta-merta berputar malas mendengar penuturannya.
“Kamu nggak lupa kan? Kalau aku masih jadi bagian keluarga "over thinking" ya mana bisa loh mikir santai.”
“Oke, terus kamu maunya gimana Princess? Jalan-jalan sekarang? Atau ke luar ke taman? Atau ke mana?”
Tawaran yang cukup menarik, tapi sayangnya aku sedang tidak tertarik.
Kepalaku menggeleng cepat, lantas meraih tubuh kokoh laki-laki itu dengan kedua tanganku. Aku memeluknya erat, sangat erat bahkan.
Kadang aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, saat pikiran kacau tak tentu arah aku malah mengharapkan pelukan hangat dari dirinya, bukan ajakan keluar atau bujukannya membeli sesuatu. Karena seberat apapun masalah dan pikiranku, aku mempercayai satu hal ... jika senyuman, tatapan, dan rengkuhanya adalah obat mujarab bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helianthus: Aeternum [COMPLETED]
Romance"Kamu ngeselin banget ya ternyata," kataku sebal. Dia kembali menarik bibirnya ke atas. "Baru tahu kamu ... " " ... Habisin sarapannya. Aku mau siap-siap sebentar," lanjut laki-laki itu. Dia menggiring kakinya berjalan untuk mencuci piring kotornya...