BAGIAN SATU

44 16 0
                                    

Rasanya seperti mimpi, akhirnya aku melepas nama Elena Gaura dan berganti Olivia Gaura yang berarti kedamaian. Setelah enam bulan mengalami badai topan campur petir, aku ingin kedamaian menjalani hidup baru sebagai gadis usia tujuh belas tahun yang normal. Satu lagi, ini adalah kota baru yang dua hari ini kuhirup udaranya. Sneakers hitamku menginjak paving halaman sekolah. Semoga tidak ada yang mengenali Elena Gaura.

“El, setiap bulan Papa datang untuk jenguk kamu. Papa juga janji semua yang berhubungan denganmu sebelumnya akan secepatnya hilang.”

“Oliv, Pa. Bukan Elena.” Papa mencubit pipiku, kami berjalan menuju ruang kepala sekolah. Di kota baru ini aku akan tinggal sendiri.

Saking nyenyaknya tidur, hari ini aku terlambat bangun dan Papa mengomel. Pukul delapan kami baru sampai sekolah. Sebelum diantar ke kelas, Papa merangkul pundakku seraya memberikan senyum paling lebar kepada heroku, satu bulan lagi beliau menjenguk.

Pintu kelas dibuka, jantungku berirama cepat takut kalau mereka tidak menerimaku atau aku tidak punya teman karena anak baru yang pindah pertengahan tahun.

“Saya Olivia Gaura, teman-teman bisa memanggil saya Oliv. Terima kasih.” Kutambahkan senyum setelah memperkenalkan diri dengan bahasa paling formal.

***

Selama pelajaran penuh, kantuk tidak bisa ditahan apalagi duduk paling belakang tanpa teman perempuan, sebelahku cowok pemalas rupanya, dia bahkan tidur sepanjang pelajaran tanpa takut ditegur. Bel istirahat berbunyi aku tidak beranjak dari kursi memilih bermain gawai.

“El, ngapain lo di sini?”

Sontak aku menoleh kanan, cowok itu masih membenamkan wajahnya pada bangku. Sekali lagi namaku Olivia bukan Elena.

“Liv, ke kantin, yuk?” ajak gadis berkacamata clear dengan rambut agak cokelat di depanku. Dia baru membereskan buku. Tanpa menjawab aku langsung berdiri mengikuti gadis yang belum kukenal namanya.

“Gue Aurel. Karena ini hari pertama lo, gue yang traktir.” Aurel menyodrokan jus jeruk dan roti bawang kepadaku.

“Thanks, Rel.”

Tidak buruk sepertinya hari pertama ini. Aurel terlihat santai tanpa banyak bertanya asalku. Kantin SMA Galaksi mulai ramai, adik kelas tidak kalah modis dari kakak kelas, hampir seluruhnya menggengam gawai boba berlogo apel.

“Kayaknya gue salah masuk sekolah, deh, ini isinya selebgram semua perasaan,” celetukku.

“Gue pikir gue doang yang mikir gitu, hahaha,” timpal Aurel. Tidak butuh waktu lama kami membahas segala hal yang tampak mencolok.

Bel masuk membuat seisi kantin berhambur cepat-cepat kembali ke kelas, apalagi anak kelas tiga yang gedungnya paling jauh dari kantin. Aurel memasukkan ponselnya ke saku, bukan ponsel boba tetapi masih berlogo apel.

“Bentar lagi mapel Biologi. Lo harus tahu kalau gurunya Pak Roman super killer.” Aurel memberitahu sambil menaikkan dahinya.

“Lo nakutin gue?”

“Serius, Liv. Super double killer,” ulang Aurel.

Kelas langsung senyap saat tubuh tegap berkemeja kotak maroon masuk. Seumuran Papa dengan  garis wajah tegas dan rambut rata kanan. Hanya detik jam mengisi ruangan terdengar lebih jelas, berbeda dengan pelajaran pagi tadi. Kalau begini aku ikut tegang dan was-was.

“Membran sel tersusun atas lipoprotein di mana lima puluh persen protein—“

Pak Roman langsung melayangkan ensiklopedia tubuh manusia kepada cowok di sebelahku yang masih membenamkan wajahnya. Ensiklopedia itu sempurna mengenai tengkorak.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang