Bagian Tiga Belas

10 1 0
                                    

Sekarang hanya bertiga, Rovel mengemudi dan aku tak semangat mengikuti obrolan Aurel. Dia banyak mencari topik agar aku tidak melamun menatap jalanan kosong. Karena sore ini mendadak hujan deras disertai petir sesekali menyambar.

Mobil kami membelah hujan, tidak menepi atau berhenti sementara sampai rintik hujan reda. Rovel membawa kami ke rumahnya. Hanya itu satu-satunya tempat aman karena anak buah Hercules tidak ada yang mengulik latar belakang Rovel.

Kalau kalian pikir rumah yang dihuni Rovel selama ini bersama mamanya itu salah. Kami akan tinggal di rumah kosong bekas toko mama Rovel pertama kali. Rumah itu tidak dijual atau dikontrakan, katanya saat membeli ruko tersebut gabungan antara uang mama Rovel dan Pak Roman. Jadi saat cerai dibiarkan begitu saja.

Sampai. Masih hujan deras. Halaman rumah muat untuk satu mobil. Dengan pagar besi berkarat dan sulit sekali di dorong.
Aku keluar dari mobil membawa jaket. Rovel kasihan setengah basah karena mendorong gerbang.

"Jangan paksain dulu, kita balik ke mobil, " ajakku.

"Duh, pacar gue sosweet banget, sih. Iya yuk, balik."

Rovel mengambil alih jaket, kami berlari kembali ke mobil.

"Kayaknya Elena cuman leleh sama lo deh, Vel. Gue gak berhasil lho dari tadi buat dia ngomong sesuatu."

"Enggak gitu, Rel," elakku.

"Iya iya, yang pacaran silakan bucin. Gue yang ngontrak," celetuk Aurel.

Aku menarik bibir, apakah Rovel resmi menjadi pacarku? Padahal aku tidak memberi jawaban waktu itu. Ya walaupun kalau diam tandanya setuju.

Di luar hujan tidak berganti irama, tetap deras bedanya petir sudah tidak menyambar seperti sebelumnya.
Obat-obatan itu membuatku mengantuk berat. Aku sudah menyandarkan punggung dengan posisi paling nyaman.
Aurel rupanya juga mencari posisi nyaman untuk tidur. Hari ini, kami lelah secara mental, Arman tanpa pamit meninggalkan kami.

Rovel juga menyilangkan tangannya di dada dan menutup mata. Baiklah aku juga melakukan hal sama.

***

Aku membuka mata, jam tangan menunjukkan pukul lima sore, hanya satu jam aku menutup mata. Di luar sudah tidak ada air jatuh. Aurel dan Rovel masih tidur, biar saja, aku keluar lebih dulu.

Kuhirup udara di sekeliling. Segar sekali. Tempat ini seperti memang di pinggir jalan raya. Kanan kiri ruko segala jenis. Aku mengelap kapan mobil dengan tangan. Aku duduk di atas kapal mobil yang membelakangi jalan raya.

Tempat ini lumayan jauh dari sekolah, tidak masalah yang penting jauh juga dari Hercules. Jalan raya juga hanya beberapa yang lewat selepas hujan, mungkin bukan jalan utama jadi tidak seramai rumah sebelumnya.

Dari jauh seseorang memakai hoodie hitam membuka kupluk. Romeo. Aku tersenyum, dia berkata benar, akan menjaga kami bertiga. Buktinya sampai di sini pun dia tahu. Aku turun dari kap dan berlari mendekati Romeo.

"Motor Aurel." Romeo memberi kunci motor dan menunjukkan motor matic pink itu di belakangnya.

"Kok bisa?"

"Kalian ninggalin ini di rumah dekat hutan sana."

"Thanks, ya."

"Iya."

Ada yang aneh lagi dari wajahnya. Lihat, sudut dahinya membiru, bekas luka baru juga tepat di dagu. Kenapa Romeo wajahnya tidak pernah bersih dari luka.

"Dagu lo." Aku mengusap darah yang baru saja keluar.

"Eh, gak papa kok." Romeo menghentikan tanganku.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang